Senin, 02 Januari 2012

Pasal 33, Freeport, dan Papua

Sri-Edi Swasono, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI UI
Sumber : SINDO, 1 Januari 2012


Dasar hukum penanaman modal asing di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967.

Pada 1968, mahasiswa Indonesia di AS yang tergabung dalam Permias dan dike- tuai Tony Agus Ardie menyambut positif UU No 1/1967. Bekerja sama dengan KBRI di Washington DC dan Konsulat Jenderal RI di San Francisco, Permias mengadakan seminar ”Investment in Indonesia” untuk mendorong pengusaha AS berinvestasi di Indonesia. Selaku Ketua Permias Cabang Pittsburgh, saya menolak hadir. Merasa tak sreg. Insting saya: UU ini awal kembalinya kapitalisme asing di Indonesia.

Mengapa UU No 1/1967 diteken Presiden Soekarno, yang sebelumnya meneriakkan go to hell with your aid kepada kapitalis-imperialis Barat, bahkan keluar dari keanggotaan di PBB?

Barangkali Presiden Soekarno ditekan atau mungkin kompromistis karena Pasal 4, 5, dan 6 UU No 1/1967 masih menegaskan bidang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (Pasal 33 UUD 1945), yang secara eksplisit dinyatakan tertutup bagi modal asing, yaitu pelabuhan; produksi, transmisi, dan distribusi listrik untuk umum, telekomunikasi; pelayaran; penerbangan; air minum; kereta api umum; tenaga atom; dan media massa.

Kemudian terbukti UU No 1/1967 menjadi awal dominasi asing, ”dikasih hati, minta ampela pula”. Sejak 1982 merebak peraturan perundang-undangan deregulasi ekonomi yang samar-samar melanggar Pasal 33 UUD 1945.

Selanjutnya PP No 20/1994 mulai terang-terangan membabat nasionalisme ekonomi yang masih dipangku UU No 1/1967. Porsi pemilikan saham Indonesia dicukupkan 5 persen dalam berpatungan dengan investor asing. Indonesia sejak itu jadi lahan eksploitasi perusahaan asing.

Dan, 40 tahun kemudian, Tony Agus Ardie selaku tokoh Kadin dan Hippi menolak RUU yang menyetarakan investor asing dengan investor nasional. Kesetaraan sok imparsial ini justru diskriminatif terhadap anak-negeri yang masih lemah. RUU itu jadi UU No 25/2007 yang menggelar karpet merah buat investasi asing.

Catatan pribadi saya kepada Tony Agus Ardie dan almarhum Hartojo Wignjowijoto tentang kehadiran Presiden Obama di Kampus UI tahun lalu, ”Bung, meski saya tak bilang mereka mirip inlander, kalian dan saya boleh heran, ketika Presiden Obama mengawali uluk salamnya ’Pulang kampung nih’, kok mereka berlebihan bersorak-sorai kegirangan. Namun, tak semua ramah murah macam itu. Ada sekelompok mahasiswa menyiapkan spanduk bertuliskan ’Please no double standard Mr Obama, your Freeport destroys our environment’. Ini sopan dan intelektual.”

Kelengahan Ideologis

Derasnya investasi asing ke Indonesia memang problematik. Dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945, UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara tak sekadar mewajibkan para investor asing dalam pertambangan mineral merenegosiasi kontrak kerja, tetapi juga wajib melaksanakan perintah UU. UU No 4/2009 menyebutkan enam isu strategis: luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri.

Kontrak kerja generasi I tahun 1967 dengan PT Freeport Indonesia (FI) diperbarui dengan kontrak kerja generasi II pada 1991. Namun, pembaruan tak optimal keuntungannya bagi Indonesia. Kita lengah melulu. UU No 4/2009 mengamanatkan perlunya negosiasi ulang kontrak semua perusahaan tambang asing.

Saham PT FI 90,64 persen dikuasai Freeport McMoran Copper and Gold dan 9,36 persen dikuasai Pemerintah Indonesia. Terkait UU No 4/2009, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada akhir September 2011 mengakui 65 persen dari 118 perusahaan tambang setuju dan 35 persen masih dalam tahap negosiasi, salah satunya PT FI yang terang-terangan ogah-ogahan. Bahkan diberitakan, Direktur PT FI Armado Mahler dan Juru Bicara PT FI Ramdani Sirait menegaskan tak ada yang salah dalam kontrak kerja: sudah cukup adil bagi sesama pihak.

Kelengahan ideologis DPR dan pemerintah sebagai pembuat UU plus rakusnya imperialisme korporasi PT FI, sebagai wujud baru kolonialisme Eropa abad-abad lalu, tak saja telah mengakibatkan tak ber- akhirnya kepedihan hidup dan ”keterting- galan” saudara-saudara kita di Papua, tetapi juga merupakan pembiaran atas compang-campingnya kedaulatan negara.

Mestinya pemerintah malu telah lalai menyejahterakan rakyat sendiri di sekitar lokasi pertambangan PT FI di Pegunungan Ertsberg dan Grasberg yang superkaya logam mulia. Tindakan ekstraordinari penyejahteraan dan pembahagiaan rakyat Papua harus segera dibuktikan hasilnya. Kekerasan terhadap rakyat Papua harus distop. Salah asuhkah aparat kita yang semena-mena melakukan kekerasan terhadap rakyat demi apa dan demi siapa? SBY jadi sangat tak populer karena kelakuan aparat dan pembiaran seperti ini.

Teringat pada pertemuan saya dengan PM Xanana Gusmao pada 2010 di pesang- grahannya, saya menasihatinya mengemban doktrin kemerdekaan nasional agar benar-benar menjadi master (tuan) di negeri sendiri. Jawabnya, ”Tentu, jangan kita sekadar menjadi master of ceremony.”

Ia benar. Jangan kita hanya mengantar tuan-tuan asing duduk di kursi VIP, mengedarkan daftar hidangan, mengobral SDA, dan menyilakan memilih hutan mana, tambang apa, lahan di mana, serta infrastruktur apa. Korupsi telah menyebar ke segala tingkat birokrasi pusat dan daerah. Artinya, rezim merampok negara.

Meningkatkan Pemilikan Saham

Negosiasi ulang kontrak kerja harus berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Kita tak anti-asing. Kita batasi investasi asing agar tak mendominasi ekonomi nasional. Arah negosiasi ulang adalah meningkatkan bertahap pemilikan saham untuk cabang produksi yang penting bagi negara: minimal Indonesia 51 persen. Jadi, idiom ”dikuasai oleh negara” akan mangkus terwujud.

Jangka waktu kontrak kerja dipendekkan, mengakhiri model konsesi, lalu mengubahnya menjadi kontrak bagi hasil. Selama kontrak kerja berjalan, royalti ditingkatkan dua kali lipat. Peran menentukan manajer Indonesia ditingkatkan. Pengelolaan perusahaan dan proses produksi harus transparan.

Mahkamah Konstitusi perlu lebih memahami roh dan misi kemerdekaan Indonesia. Konstitusi tak sekadar rentetan kata-kata. Kecanggihan jangan tereduksi sikap the King can do wrong. Komisi Hukum Nasional harus proaktif nasionalistis. Demikian pula ISEI: tak berpang- ku tangan jadi organisasi yang terkesan abai terhadap imperativisme ekonomi konstitusi. Jangan sampai ISEI memilih berpedoman pada silabus ruang kelas yang penuh dengan hegemoni akademis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar