Oleh Imam Santoso
Jangan lagi bantah efektivitas media sosial atau jejaring sosial dalam mengkampanyekan pembelaan sosial kepada publik.
Peningkatan 13 juta pengguna internet di Indonesia pada 2012 (total 55 juta) tampaknya berbanding lurus dengan kesadaran para netizen, sebutan bagi warga internet, terhadap persoalan sosial di sekitar mereka.
Sebut saja kasus Prita Mulyasari, Cicak vs Buaya, dan yang terbaru, Solidaritas Sandal Jepit. Dukungan mengalir kepada pihak yang berada pada posisi inferior, sekaligus lemah di hadapan sistem, namun berani menggugat keangkuhan kekuatan dominan.
Di luar negeri, Revolusi Melati di Tunisia dan Revolusi Mesir membuktikan begitu ampuhnya media sosial dalam meluruskan dan mengoreksi kebatilan dan ketidakadilan sebuah orde.
Dengan menggelontorkan isu ke media sosial seperti Twitter dan Facebook, publik dipancing mengakrabi isu yang kebanyakan memang menyangkut urusan masyarakat. Pada tingkat tertentu, berbagi pesan dan pandangan secara online ini, memuncak menjadi gerakan massa.
Banyak kalangan sadar akan kekuatan jejaring sosial ini. Ada yang menggunakannya sebagai sarana mengkritik, menyampaikan pandangan alternatif, bahkan kecaman, tapi lebih banyak yang memanfaatkannya untuk menumbuhkan kesadaran sosial antarmasyarakat.
Contohnya, apa yang dilakukan ara netizen Ibukota melalui gerakan #savejkt (Save Jakarta). Gerakan ini mendapat perhatian pengguna internet dari akun Twitter-nya @savejkt dan situs savejkt.org.
Gerakan #savejkt, seperti disebut dalam situs resminya, bertujuan menyelamatkan dan melakukan perubahan di Jakarta. Gerakan itu berusaha mengembangkan konsep bagaimana seharusnya Jakarta dikelola dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan warga dan sesuai azas lingkungan.
Tercatut sejumlah nama terdaftar dalam tim gerakan #savejkt. Mereka itu pengamat politik Andrinof Chaniago, Irsan Aditama Pawennei, direktur operasional Centre for Innovation, Policy, and Governance (CIPG) Ardy Purnawan Sani, dan banyak lagi.
Sampai Jumat (20/1) pukul 17.00 WIB, gerakan yang digulirkan sejak Oktober 2011 mempunyai 7,692 followers (pengikut). Sebagian besar aktivitas #savejkt diorganisir melalui Twitter.
Mereka aktif memposting pesan-pesan singkat namun 'nyentil' demi mengajak follower-nya peduli pada "kesehatan" Jakarta. Mereka men-"tweet" pesan-pesan menarik sepetti "We have Senayan City, Thamrin City, Seasons City, Gandaria City, and now Kuningan City, but we are losing the Jakarta City".
Artinya, "Kita punya Senayan City, Thamrin City, Seasons City, Gandaria City, dan sekarang Kuningan City, tapi kita kehilangan Kota Jakarta."
Pesan ini lalu di-"tweet" ulang oleh 45 followers-nya
Beraneka balasan kicauan dari follower @savejkt pun muncul.
@Blue_Anita me-retweet pesan "All Jakartans must bring sanity back in the city" (Semua orang Jakarta mesti mengembalikan kewarasan di kota ini) dengan "yap. before it turns to be an insane town" (Ya, sebelum semua berubah jadi kota gila).
Ada pula "retweet" dari @ferdi_bois16 yang menulis "buat ngatasin gridlock kalo cuma ngarep perbaikan transportasi umum percuma, knp ga pada pakai sepeda sih? Gengsi? Makan tuh gengsi".
"Retweet" itu adalah balasan untuk @savejkt yang menulis "Banyak warga Jakarta yg belum sadar bahwa gridlock sebenarnya sudah terjadi."
Di samping berbalas kicau melalui Twitter, #savejkt juga mengajak netizen untuk berdiskusi pengelolaan sampah berbasis masyarakat, kemacetan lalu lintas, birokrasi Jakarta dan partisipasi publik, kritik terhadap wacana The Grater Jakarta atau kepedulian terhadap warga yang kurang sejahtera.
Berbeda dari gerakan mobilisasi massa di media sosial, #savejkt terkesan sangat terorganisir karena memiliki dua pilar, yaitu gerakan berbasis gagasan dari para followers yang dipantau tim pengelola gagasan. Gagasan ini adalah landasan bagaimana seharusnya pengelolaan Jakarta.
Pilar kedua disebut demokrasi, cenderung bersifat politik praktis. Pengelola #savejkt menyatakan kesadaran bahwa perbaikan Jakarta tidak akan terjadi tanpa perubahan politik.
Terlepas motif dibalik kampanye sosial ini, perkembangan ini kian menunjukkan bahwa internet semakin mengukuhkan diri sebagai ruang publik di mana siapa pun bebas bersuara, tanpa kecuali, tanpa mengenal strata, tanpa panduan, tanpa diskenariokan.
Mereka bisa berbicara apa saja. Ini seperti sebuah ruang publik dalam gambaran ideal seperti disebut Habermas, bahwa ruang publik adalah media untuk mengomunikasikan informasi dan juga pandangan masyarakat secara kritis tentang berbagai hal menyangkut kehidupan mereka.
Ketika kelompok-kelompok masyarakat bertemu dan berdebat tentang suatu isu, maka akan terbentuk masyarakat madani. Yaitu masyarakat yang kesadarannya muncul dari dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar