Selasa, 27 September 2016

Dan Muhammad Hanyalah Seorang Rasul


 on 

Beberapa waktu belakangan, terasa banyak orang-orang baik di sekeliling saya pergi lebih dahulu meninggalkan dunia. Sedih, karena kita tidak akan pernah benar-benar siap ditinggalkan. Saya jadi teringat penggalan cerita umat muslim yang mendadak ditinggalkan Rasulullah, dalam buku Abu Bakar Al-Shiddiq. Bagi yang belum pernah membacanya, silahkan ambil secangkir kopi. Soalnya, walaupun sepenggal cerita, tapi lumayan panjaang …

DAN MUHAMMAD HANYALAH SEORANG RASUL
—– Hari-hari terakhir Rasullullah SAW

Awal Safar tahun ke-11 Hijriah. Nabi Muhammad SAW, pergi ke Gunung Uhud dan mendirikan shalat untuk syuhada Uhud. Beliau pergi ke masjid dan berkata pada kaum muslim, “Sesungguhnya aku meninggalkan kalian dan aku menjadi saksi atas kalian. Demi Allah, saat ini aku melihat telagaku. Telah diberikan kepadaku kunci-kunci simpanan dunia. Dan demi Allah, aku tidak takut jika setelah kematianku kalian menguasai dunia, tetapi aku tekut jika kalian berlomba-lomba mengejar dunia.”

Suatu malam, Nabi keluar menuju pemakaman Baqi, lalu memohonkan ampun untuk penghuni kubur di sana. “Assalamualikum, Wahai ahli kubur! Semoga kalian dalam keadaan baik. Aku menghadapi fitnah [kematian] yang datang seperti sepotong malam yang kelam. Akhirnya diikuti oleh awalnya, yang akhir lebih buruk dari yang awal. Sesungguhnya kami akan segera berjumpa dengan kalian, sesuai kehendak Allah. Ya Allah, ampunilah para penghuni Baqi.”

Keluarga, para istri, dan para sahabat dekat Nabi merasakan bahwa saat perpisahaan dengan junjungan mereka itu telah makin dekat. Namun, mereka berusaha menyingkirkan perasaan itu. Mereka masih enggan berpisah dengannya.

Senin 29 Safar, 11 HIjriyah. Dalam perjalanan pulan dari Baqi, tiba-tiba Rasulullah merasa kepalanya sakit. Tubuhnya menggigil. Para sahabat melihat keringat membasahi surban yang melilit kepala junjungan mereka itu. Tiga belas hari Rasulullah menderita sakit. Namun, selama sebelas hari, ia tetap shalat mengimami kaum muslim.

Saat sakitnya semakin berat, Rasulullah SAW. bertanya pada istri-istrinya, “Di mana giliranku esok hari?”

Mereka memahami maksud pertanyaan Nabi dan kemudian membawana ke rumah Aisyah. Nabi berjalan dipapah oleh al-Fadhl ibn Abbas dan Ali ibn Abu Thalib. Kepalanya dililit surban. Seminggu terakhir hidupnya, Rasul berada di rumah Aisyah.

Rabu, lima hari sebelum wafat, Nabi merasakan demam dan sakitnya mereda. Beliau memasuki masjid, duduk di atas mimbar dan berkhutbah kepada orang-orang yang menyemut di hadapannya: “Semoga laknat Allah atas orang Yahudi dan Nasrani. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah. Jangan sampai kalian menjadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.” (1)

Usai berkhutbah, Nabi menawarkan diri untuk diqisas. “Siapa yang punggungnya pernah kucambuk, inilah punggungku. Balaslah apa yang telah kulakukan. Siapa yang pernah kucaci, inilah aku, balaslah apa yang telah kulakukan.”

Kemudian Nabi SAW. turun dari mimbar untuk shalat dzuhur. Usai shalat beliau kembali naik dan duduk di atas mimbar, lalu berwasiat mengenai kaum Anshar:
“Aku berwasiat kepadamu mengenai kaum Anshar, karena mereka adalah keluarga dan rumahku. Telah berlalu dan telah terhapus keburukan mereka, dan telah abadi kebaikan mereka. Maka, sambutlah segala kebaikan mereka dan maafkanlah segala keburukan mereka.”

Meski sakitnya cukup parah, Nabi tetap mengimami seluruh shalat fardhu bersama kaum muslimin hingga hari itu, Kamis, empat hari sebelum wafat. Dan pada hari itu Nabi mengimani shalat maghrib dan membaca surat al-Mursalat.

Sabtu dan Ahad –dua atau satu hari sebelum wafat– Nabi merasa lebih sehat sehingga ia keluar dipapah oelh dua sahabat untuk shalat dzuhur. Ketika itu Abu Bakar akan mengimami orang-orang. Melihat kedatangan Nabi, Abu Bakar mundur dan mempersilahkan Rasulullah ke tempat imam. Nabi memberi isyarat agar ia tidak mundur dan berkata pada dua sahabat yang memapahnya, “Dudukkanlah aku di sisi Abu Bakar.” Keduanya mendudukkan Nabi di sebelah kiri Abu Bakar, yang melanjutkan shalatnya bersama Rasulullah SAW., dan kaum muslimin mendengar takbir yang diucapkannya.

Senin, ketika kaum muslimin mendirikan shalat shubuh di belakang Abu Bakar, mereka terkejut melihat Rasulullah menyibakkan tirai kamar Aisyah, lalu memandangi mereka yang sudah berbaris rapi untuk shalat. Rasulullah tersenyum dan tertawa sekilas. Abu Bakar mundur dari tempat imam, karena mengira bahwa Rasulullah akan shalat bersama mereka. Hampir saja kaum muslim membatalkan shalat karena gembira melihat Rasulullah keluar dari kamarnya. Namun, Nabi memberi isyarat agar mereka menyelesaikan shalat. Rasulullah kembali memasuki kamar dan menutup tirainya.

Waktu shalat dhuha hari yang sama telah berlalu, Rasulullah memanggil istri-istri dan keluarganya. Fatimah al-Zahra yang segera menemui Rasulullah terlihat sangat berduka melihat ayahandanya yang sangat menderita dan berusaha menahan rasa sakit yang teramat berat. Ia bertanya pada Rasulullah SAW., “Teramat sakitkah duhai Ayah?”

Rasulullah menjawab, “Setelah hari ini, ayahmu tidak akan merasakan derita, wahai Fatimah.”

Kemudian Rasulullah memanggil al-Hasan dan al-Husain, mencium keduanya, lalu mewasiatkan kebaikan kepada mereka. Setelah itu, Rasulullah memanggil istri-istrinya, menasehati, dan mengingatkan mereka.

Rasulullah akhirnya berwasiat kepada seluruh manusia, “Dirikanlah shalat, dirikanlah shalat, dan perlakukanlah budak-budak kalian dengan baik.” Rasulullah mengulangi wasiatnya itu berulang kali.

Terdengar tarikan napas Rasulullah semakin pendek-pendek sehingga Aisyah segera menyandarkan kepala beliau di atas pangkuannya.

Aisyah menuturkan saat-saat terakhir perjumpaannya dengan Rasulullah, “Nikmat terbesar sepanjan hidupku adalah, Rasulullah wafat di rumahku, di hariku, di antara waktu pagi dan siangku, dan sesungguhnya Allah menghimpun air ludahku dan air ludahnya di saat kematiannya. Abdurrahman ibn Abu Bakar memasuki kamar dengan siwak di tangannya. Rasulullah bersandar di pangkuanku dan aku melihatnya memandangi siwak yang dibawa Abdurrahman sehingga aku menduga beliau ingin bersiwak. Aku bertanya, “Maukah aku ambilkan untukmu?” Rasulullah mengangguk. Lalu kuambil siwak itu. Namun, Rasulullah tampak semakin payah. Aku bertanya lagi, “Kulembutkan untukmu?” Rasulullah mengangguk sekali lagi. Lalu aku melembutkan siwak itu —atau meminta seseorang untuk melembutkannya.”

Dalam riwayat lain, Nabi sendiri menggosok giginya. Di depannya diletakan sebuah baskom kecil berisi air. Rasulullah memasukan tangannya ke baskom itu, lalu membasuh wajahnya seraya berkata, “la ilaha ilallah, sesungguhnya bagi setiap kematian ada sakratul maut.”

Usai bersiwak, Rasulullah mengangkat tangannya atau jari-jarinya. Pandangnnya menembus atap rumah. Kedua bibirnya tampak bergerak-gerak. Aisyah mendengarnya berkata lirih, “Bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat di antara para nabi, shiddiqin, suhada, dan shalihin. Ya Allah, ampunilah aku, sayangilah aku, dan pertemukan aku dengan Kekasih Yang Maha Tinggi. Ya Allah, Engkaulah Kekasih Yang Maha Tinggi.”

Rasulullah Muhammad SAW. wafat di ujung waktu dhuha hari Senin 12 Rabiul Awal 11 Hijriyah, ketika genap berusia 63 tahun lebih empat hari menurut hitungan tahun qomariyah.

Pengasuh Nabi, Ummu Ayman, menangis keras. Seorang bertanya, “Ummu Ayman, apakah engkau menangisi kepergian Rasulullah?”

Ummu Ayman menjawab, “Demi Allah, aku menangis bukan karena Rasulullah pergi ke tempat yang lebih baik dari dunia. Aku menangis karena kabar dari langit telah terputus!”

Tangis para sahabat menggemuruh. Seakan mereka tidak pernah menangis sebelumnya. Para wanita menangis sejadi-jadinya. Semua berkabung. Kota Madinah berduka, bahkan seluruh semesta berduka. Ketika itu Abu Bakar sedang berada di rumahnya dan ia bergegas menunggani Masjid Nabi. Setibanya di masjid, ia melihat orang-orang telah berkumpul. Ia melewati mereka dan tidak berkata apa-apa. Ia bergegas menuju rumah Aisyah. Ia melihat Rasulullah telah ditutupi sehelai kain. Abu Bakar menyingkapkan penutup wajahnya, kemudian mendekap dan mencium wajah Rasulullah. Ia menangis dan berkata, “Demi ayah dan ibuku, Allah akan menghimpunkan dua kematian bagimu. Kematian yang telah ditetapkan Allah atas dirimu telah engkau alami.”

Setelah itu Abu Bakar memasuk Masjid dan ia melihat Umar sedang berteriak-teriak kepada orang-orang (2). Abu Bakar berkata padanya. “Duduklah!” Tetapi Umar tak mau duduk. Kemudian Abu Bakar mengucapkan syahadat dengan suara yang lantang sehingga orang-orang berpaling padanya dan mengabaikan Umar.

Abu Bakar berkata, ” … amma ba’d. barang siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah mati. Barang siapa menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Maha HIdup tidak akan mati. Allah berfirman :

“Dan Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul. Telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Apakah jika ia wafat dan dibunuh, kalian berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun juga, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur,” (Ali Imran : 144)

Abu Bakar berhasil menenangkan dan mengokohkan kembali hati para sahabat yang berduka dan terguncang. Mereka kembali kepada keimanan yang istiqomah. Semua sahabat yang hadir di masjid seakan-akan baru mendengar ayat itu pada saat itu. Mereka seakan-akan tidak pernah mengenal ayat itu sampai Abu Bakar membacakannya. Kemudian orang-orang membaca ayat itu hingga nyaris semua orang yang ada di sana membacanya.

Kepergian Nabi Muhammad SAW. meninggalkan kesedihan mendalam di hati umat Islam. Komunitas baru itu merasa belum siap ditinggalkan sang pemimpin, kekasih, junjungan, dan teldah hidup mereka. Mereka terguncang.

———–
*) disadur dari buku “Abu Bakar Al-Shiddiq, 2007. Dr. Mustafa Murad”

(1) Salah satu tugas Rasulullah adalah mengembalikan umat ke dalam ketauhidan. Nabi Muhammad SAW. tentu saja sangat menghindari umatnya kembali syirik –apalagi menjadikan dirinya sebagai sekutu bagi Allah SWT.

“…dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (An-Nahl 16:36)

Penyekutuan Allah yang dihubungkan dengan rasul-rasulnya telah sering dilakukan umat-umat sebelumnya. Bahkan masih terjadi saat ini, juga di lingkungan umat muslim.

Saya ingat sekali, ketika saya berdiri mendoakan Rasulullah dan para sahabat di makamnya. Do’a saya terputus oleh teriakan seorang Askar, “HAJIIII! Makkah is that way!”

Saya baru sadar bahwa saya berdoa menghadap makam Nabi dan membelakangi kiblat. Si Askar mengkhawatirkan saya. Dia pikir saya sedang berdo’a meminta pada Nabi –bukan pada Allah. *anyway, makasih untuk pengingatnya, pak Askar.

Nabi Muhammad mengingatkan kembali masalah dosa syirik di penghujung hayatnya, karena menghentikan pebuatan syirik adalah tugasnya. Legacy-nya.

Nampaknya memang cara terbaik untuk mensikapi mangkatnya seseorang adalah dengan meneruskan perjuangannya. Jangan biarkan cita-cita baiknya terputus. Jangan biarkan hidupnya sia-sia.

(2) Dalam buku Umar ibn Khattab, karya Dr. Musthafa Murad juga, diceritakan bahkan Ummar ibn Khattab pun kesulitan menerima kepergian Rasulullah.

Awalnya ketika menerima kabar ini, Umar ibn Khattab ra. hanya bisa mematung. Lalu seolah tak sadar, Umar berjalan dan berkhotbah di hadapan kerumunan, “Sesungguhnya beberpa orang munafik telah menganggap bahwa Muhammad telah meninggal dunia. Tidak. Sesungguhnya beliau tidak meninggal, tetapi pergi ke hadapan Tuhannya seperti yang dilakukan Musa yang pergi selama empat puluh hari dari kaumnya, lalu kembali lagi kepada mereka. Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah akan kembali. Barang siapa mengatakan beliau sudah mati, maka kupotong kedua kaki dan tangannya.”

Pada saat itulah Abu Bakar ra. datang menegurnya dan menyuruhnya untuk duduk, lalu mengingatkan pada semua orang bahwa Nabi Muhammad SAW. hanya seorang rasul. Seorang manusia yang juga memiliki ajal, dengan membacakan surat Ali Imran : 144.

Mendengar ayat tersebut, Umar diam. Kakinya bergetar. Ia terduduk di tanah. Ia temangu. Segaris air hangat meleleh di kedua wajahnya. Lirih ia berbisik, “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.”

Manusia sekokoh Umar ibn Khattab pun hampir kehilangan semangatnya hidupnya ketika ditinggal orang yang amat dia cintai. Kita semua hanya manusia.

Untungnya seorang sahabatnya mengingatkan bahwa dia tidak boleh larut dalam kesedihan sampai melupakan apa yang mereka perjuangkan bersama.

Empat belas tahun kemudian, bergantian di bawah kepemimpinan mereka, Umat Islam berhasil menyatukan Jazirah Arab, mengalahkan kekuatan Byzantium, menaklukan Palestina, Persia dan Mesir.