Senin, 16 Januari 2012

Antara Stupid Dan Mistake

TAMBANG, 13 April 2011 | 23.43

Pria 47 tahun ini tak pernah lupa, saat melakukan perjalanan untuk studi kelayakan sebuah tambang. Bersama rekannya empat orang ekspatriat, yang tergabung dalam satu tim, ia chek in di sebuah hotel bintang tiga. Resepsionis kemudian memberikan empat kunci kepada rekannya yang ekspatriat, untuk menempati kamar di lantai lima. Sedangkan Budi Santoso, diberi kunci untuk menempati kamar di lantai dua.
Disan, demikian alumni Teknik Pertambangan ITB ini biasa disapa, lantas bertanya. Mengapa rekannya yang ekspatriat diberi kamar di lantai lima, sedangkan ia di lantai dua. ”Sudah biasa Pak, di hotel ini kalau supir memang di lantai dua,” jawab sang resepsionis santai. Tak ayal, si resepsionis hotel langsung mendapat ceramah panjang dari Disan. ”Anda sudah terbiasa ya merendahkan bangsa sendiri? Kalau berkulit coklat, lalu dianggap supir?,” sergah Disan saat itu.
”Gara-gara pemerintah menerapkan standar gaji yang berbeda antara tenaga kerja asing dan lokal, jiwa inferior bangsa ini tak pernah hilang. Selalu memandang rendah diri sendiri, di hadapan orang asing,” tandasnya. Berangkat dari itu, dalam banyak kesempatan Chairman of Join Committee PERHAPI-IAGI for Indonesian Competent Person System Development ini, tak pernah berhenti menyuarakan kesetaraan. Ia sendiri mengaku tidak mau digaji lebih rendah dari tenaga kerja luar, yang kompetensi dan jabatannya sama.
Lantas bagaimana ketika dia sekarang berada di pucuk pimpinan SRK Consulting, konsultan ternama asal Inggris? Masihkah bapak tiga anak ini mampu mempertahankan prinsipnya? Berikut penuturannya kepada Hidayat Tantan, Abraham Lagaligo, dan Taufiequrrohman dari Majalah TAMBANG.


Saya kira Anda dulu ogah bekerja di perusahaan asing, sekarang malah jadi Bos?
Jadi begini, saya perlu jelaskan dulu mengapa saya akhirnya memilih menerima tawaran SRK. Itu tidak terlepas dari komitmen SRK untuk mengoptimalkan penggunaan local advantages (keunggulan lokal, red), dalam meraih sukses perusahaan. Maka dari itu, SRK memperlakukan tenaga kerja nasional dan ekspatriat dalam posisi setara. Bahkan orang-orang Indonesia banyak yang dilibatkan dalam proyek-proyek SRK di Australia.
Local advantages kita sangat banyak, namun selama ini dikerdilkan dengan berbagai istilah, yang terkadang kita buat sendiri. Local content (muatan lokal, red) misalnya, saya tidak setuju istilah itu. Karena kesannya apa yang kita punya hanya sebagai pelengkap saja, bukan yang utama. Akibatnya, nilai-nilai dan keunggulan lokal selama ini hanya menjadi buah bibir. Tidak hanya di pertambangan, tapi di sektor-sektor industri lain juga begitu.

Berarti di SRK tidak ada perbedaan standar gaji antara tenaga kerja nasional dan ekspatriat?
Tidak ada, semua rate-nya sama. Di situlah, sejak awal mengenal SRK, saya melihat ada kesamaan visi. Saya merasa mendapatkan tempat yang selama ini menjadi obsesi saya. Bahwa bangsa Indonesia harus setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dan itu adalah amanat para pendiri negara ini. Maka saya sangat prihatin ketika ada kebijakan negara, yang membedakan standar gaji di Indonesia menjadi national rate dan expatriate rate. Ini merupakan kebijakan terbodoh di dunia, kaitannya dengan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Di Malaysia saja tidak ada kebijakan seperti itu.
Ini bukan sekedar masalah uang, tetapi bagaimana apresiasi pemerintah terhadap anak bangsa sendiri. Ketika anak bangsa yang terbaik tetap dihargai lebih rendah daripada orang asing, maka tidak akan ada encouragment (dorongan, red) bagi putra-putri Indonesia, untuk menjadi yang terbaik. Karena sepintar apa pun mereka, tetap saja dianggap lebih rendah dari ekspatriat. Kebijakan itu adalah peninggalan era penjajahan, yang konyolnya sampai sekarang masih dipelihara. Dampaknya sungguh luas dan menyedihkan.

Seperti apa misalnya?
Ya kebijakan itu telah memunculkan stereotip buruk di publik kita, bahwa memang bangsa kita lebih rendah ketimbang bangsa lain. Coba kalau jalan-jalan di mall, penjaga toko maupun petugas di mall pasti lebih hormat pada orang asing ketimbang orang lokal. Demikian pula di hotel, di pesawat terbang, atau tempat lain yang menyediakan pelayanan publik. Itu terjadi karena di otak kita sejak awal sudah terbentuk persepsi, orang lokal (kebanyakan) miskin, daya belinya rendah. Sedangkan orang asing pasti kaya, income-nya tinggi, segalanya lebih dari orang lokal.
Lebih jauh, kondisi ini telah membuat banyak orang Indonesia tidak bangga pada negerinya. Mereka memilih bekerja di Singapura, Australia, dan sebagainya. Karena meskipun digaji lebih rendah ketimbang orang lokal, tapi masih lebih tinggi dibandingkan gaji di Indonesia. Jadi jangan heran kalau Singapura maju, karena berhasil menggaet orang-orang pintar asal Indonesia. Pemerintah Singapura tidak modal, hanya cukup memberikan gaji sesuai standar.
Sedangkan Pemerintah Indonesia, sudah modal menyekolahkannya sejak SD sampai perguruan tinggi, memberikan jaminan kesehatan, dan lainnya, harus kehilangan SDM-nya yang berkualitas, gara-gara rendahnya penghargaan. Singapura misalnya, giat menawarkan beasiswa bagi pelajar Indonesia. Karena begitu anak muda yang sekolah di sana bekerja, dari pajak penghasilannya saja biaya beasiswa itu sudah tertutupi. Belum lagi keuntungan karena mendapatkan SDM berkualitas asal Indonesia.

Lalu di SRK Consulting, apa yang Anda lakukan untuk mengikis stereotip buruk itu?
Pertama, filosofi SRK Consulting sendiri adalah memaksimalkan local advantage. Kedua, di sini saya mempe-kerjakan 15 karyawan, mungkin tahun ini akan bertambah menjadi 20-an orang, ekspatriatnya cuma satu. Itu pun tidak ada perbedaan rate gaji, semuanya sama sesuai kemampuan dan jabatannya. Ketiga, dalam menjalankan kerja-kerja teknis SRK Consulting di lapangan, kami juga melibatkan associated. Yakni rekan-rekan kita para ahli tambang dan geologi, yang memang mempunyai kompetensi di bidangnya, untuk melaksanakan order kita secara individual.
Banyak diantaranya orang-orang PERHAPI (Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia) dan dari perguruan tinggi. Kualitas, hasil kerja, dan reputasi mereka sama dengan ahli-ahli asing. Pengalaman, buku yang dibaca, kuliahnya pun sama, di Australia, Perancis, dan sebagainya. Saya merasa bangga, karena lewat SRK mereka saya hargai lebih baik dibandingkan kalau mereka bekerja untuk perusahaan lain. Kantor pusat SRK pun percaya dengan tenaga-tenaga ahli orang Indonesia yang saya libatkan.

Lalu secara lebih luas, di tataran kebijakan apa yang harus dilakukan?
Ya aturan yang dibuat bersama oleh Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Tenaga Kerja itu harus dihapus. Tidak perlu lagi ada perbedaan rate gaji maupun perlakuan yang berbeda antara ekspatriat dan tenaga kerja nasional maupun lokal. Saya pikir, Pak Simon F Sembiring, saat menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara (Minerba) adalah salah satu pejabat di negeri ini yang patut diacungi jempol.
Beliau mengatakan, tidak boleh ada perlakuan yang berbeda antara tenaga kerja asing dan nasional. Wong kita yang lahir di atas tumpukan kekayaan alam ini, kok orang asing yang lebih banyak menikmati hasilnya. Hanya gara-gara rate gaji orang Indonesia lebih rendah. Bahkan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) pun menggunakan perbedaan rate gaji itu sebagai patokan.

Tapi kan kita dijanjikan transfer teknologi?
Ya itu iming-iming mereka agar kita mau dibayar lebih rendah. Jangan percaya bualan semacam itu. Setahu saya transfer teknologi itu tidak pernah ada. Yang ada adalah kita disuruh meniru sistem dan cara kerja yang dibuat oleh orang asing. Kita dicekoki hal-hal yang menurut mereka boleh diterima bangsa Indonesia. Sedangkan teknologinya sendiri tidak pernah kita kuasai, karena kita sendiri pasif. Hanya menunggu niat baik orang asing. Buktinya, teknologi migas pun masih dikuasai teknologi asing.

Lantas bagaimana di negara lain?
Di Malaysia, tidak dikenal istilah transfer teknologi, melainkan acquisition of technology. Jadi teknologi luar direbut untuk dikuasai, tidak menunggu belas kasihan. Pemerintah Malaysia pun menerapkan, jika orang Malaysia sudah mempunyai kemampuan yang sama, harus dihargai yang sama dengan orang asing. Kendati dia bekerja di perusahaan asing.
Demikian pula di negara-negara Timur Tengah. Peme-rintah mereka bilang, ”hai ekspatriat, anda boleh dibayar tinggi di sini. Tapi kami harus lebih tinggi, karena kami yang mempunyai sumber daya alam ini.” Mereka percaya diri. Sedangkan saya, ketika bekerja di perusahaan asing dan meminta gaji saya disamakan dengan ekspatriat, manaje-men menjawab ”lho kamu kan sudah lebih tinggi dari yang lain (sesama tenaga kerja nasional)”.
Itu terjadi karena adanya perbedaan rate yang diterapkan pemerintah kita tadi. Padahal ekspatriat di tempat saya bekerja dulu, tidak lebih pintar dari kita orang Indonesia. Bahkan seringkali mereka saja ajari. Kenyataannya, Indonesia ini tempat training bagi tenaga kerja muda dari luar.

Ketika Anda bekerja di perusahaan nasional, apakah penghargaan terhadap tenaga kerja bangsa sendiri lebih baik?
Itulah yang saya kecewa. Di salah satu perusahaan tambang dimana saya pernah bekerja, justru sebaliknya. Ketika manajemen sudah diambil pihak nasional lewat divestasi, malah ekspatriatnya lebih banyak, pendidikan dan pelatihan terhadap tenaga kerja nasional pun dikurangi. Padahal kita dulu sama-sama berjuang agar saham asing dikuasai nasional. Setelah dipegang bangsa sendiri, kondisinya malah lebih buruk.

Budi Santoso bergabung dan menduduki posisi Presiden Direktur untuk SRK Consulting Indonesia, sejak awal 2009. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PERHAPI Periode 2004-2006 ini sudah melewati pengalaman kerja, di sedikitnya empat perusahaan nasional maupun asing. Mulai level Mine Engineer hingga Direktur telah dijajalnya.
SRK Consulting sendiri didirikan pada 1976 oleh tiga orang ahli geoteknik, yakni Steven, Robertsen, dan Kirtsten. Huruf depan nama mereka kemudian diabadikan sebagai brand perusahaan itu (SRK). Awalnya SRK hanya melayani jasa geoteknik. Lalu berkembang menjadi perusahaan jasa yang melayani seluruh aspek yang terkait dengan mining business. SRK juga melayani penyiapan dokumen-dokumen untuk IPO perusahaan tambang di berbagai negara, seperti Australia, Hongkong, Kanada, dan Inggris.
Menurut Disan, SRK Consulting Indonesia memang baru dibuka pada 2009. Namun perusahaan ini sudah melayani perusahaan-perusahaan tambang Indonesia, sejak sepuluh tahun silam. Di Asia, SRK Consulting hanya membuka kantor di India, China, dan Indonesia. Di India dan China, SRK juga menempatkan orang lokal sebagai Presiden Direktur, sebagai upaya mengoptimalkan local advantages.


Lalu bagaimana dengan konsep sustainable development yang didesakkan dalam setiap operasi pertambangan. Apakah perbedaan rate gaji itu akan menjadi penghambat ke arah sana?
Bagi saya, sustainable development berarti setiap ton batubara, setiap gram emas, atau setiap liter minyak yang dibawa ke luar, harus membuat orang Indonesia pintar dan sehat. Kalau itu tidak terjadi, berarti kita gagal melakukan sustainable development. Kita hanya memperkaya ekspatriat. Orang-orang tua kita harus ”bunuh diri” karena malu pada anak-cucunya. Kebijakan membedakan rate gaji orang Indonesia dan ekspatriat itu tolol. Belum lagi kebijakan-kebijakan lain yang menghambat terbukanya lapangan kerja baru.

Seperti apa contohnya?
Salah satunya aturan untuk membuka usaha jasa pertambangan. Di Indonesia, antara perusahaan jasa pertambangan yang besar dan yang kecil threshold (ambang batas, red)-nya Rp 5 miliar. Sedangkan di Australia, dengan USD 10.000 sudah bisa buka perusahaan. Di Singapura mungkin hanya USD 50 sudah bisa buka perusahaan. Artinya, dengan Rp 5 miliar kita sudah bisa membuka lima perusahaan di Australia. Sedangkan di Indonesia cuma satu.
Kalau dari lima perusahaan misalnya rata-rata mempekerjakan 50 orang, maka dengan Rp 5 miliar di Australia, sudah bisa menyerap 250 tenaga kerja. Tapi di Indonesia, hanya 50 tenaga kerja yang bisa diserap. Ketika tidak mempunyai Rp 5 miliar, maka kita tidak bisa membuka usaha di negeri ini. Dan itu tidak hanya menghambat penyerapan tenaga kerja, lebih jauh lagi adalah membunuh potensi-potensi kreativitas bangsa.

Sejauh mana kerugian kita akibat kebijakan itu?
Sebenarnya yang paling rugi ya pemerintah sendiri. Begitu banyak peluang pertumbuhan ekonomi yang hilang begitu saja, gara-gara orang susah mendapatkan izin usaha. Survei Ekonomi 2010 menyebutkan, sebanyak 68% perekonomian Indonesia digerakkan oleh sektor nonformal. Sektor nonformal begitu besar karena izin mendirikan perusahaan dipersulit. Padahal kalau orang sudah mendirikan perusahaan, ada NPWP-nya, di situ ada peluang masuknya pajak. Dengan kondisi sekarang, sebanyak 68% potensi pendapatan pemerintah dari pajak, hilang begitu saja.

Bagaimana dengan pendirian perusahaan konsultan seperti SRK ini?
Sama saja, sudah dua setengah tahun kita mengajukan izin ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sampai sekarang belum juga ditandatangani. Saya tanya ke Kasubdit yang menangani jasa pertambangan, katanya izin itu masih nyantol di Menteri. Bayangkan, urusan seperti ini saja harus ke Menteri, padahal Menteri kan urusannya banyak. Sebelumnya kita harus berputar-putar juga ke beberapa instansi lain yang terkait. Jadi semakin lama kelayakan usaha di Indonesia ini semakin rendah.

Menurut Anda mengapa itu bisa terjadi?
Menurut saya karena adanya kekeliruan dalam berpikir, atau bahasa pedasnya ”cacat pikir”. Pemerintah berusaha meningkatkan pengawasan dengan membuat aturan. Aturan itu sendiri, untuk penerapannya membutuhkan pengawasan. Pembuatan peraturan dan pelaksanaan pengawasan itu kan semuanya membutuhkan biaya. Maka semakin banyak peraturan dibuat, biaya yang dikeluarkan pemerintah dan pelaku usaha juga semakin besar.
Maka dari itu, di negara-negara yang sudah maju, tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan usaha, menjadi beban masing-masing individu. Itulah yang dinamakan etika. Orang yang beretika, dalam setiap langkah bisnisnya, pengambilan keputusan, atau dalam menjalankan fungsi pemerintah, selalu berpegang pada prinsip ”kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit”.
Kalau di Indonesia, meski katanya religus, taat beragama, rajin salat, kalau dalam bertindak masih berperilaku ”kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah”, maka jelas-jelas tidak beretika. Maka dari itu, untuk penegakan etika ini, lewat PERHAPI saya mengusulkan adanya ”Competent Person”. Sebagai suatu standar etika bagi para anggota Komite Cadangan Mineral Indonesia (KCMI), dalam mensahkan hasil pembuktian sumber daya dan cadangan. Seperti JORC kalau di Australia.

Untuk di SRK sendiri, seperti apa upaya untuk memaksimalkan local advantages?
Pertama, kita selalu melakukan pertukaran. Tenaga ahli dari Indonesia dikirim ke Australia untuk belajar, demikian pula sebaliknya. Itu sebagai upaya kita untuk melakukan penguasaan teknologi, bukan transfer teknologi. Kedua, yang mungkin jarang dilakukan perusahaan lain, setelah seseorang tahu atau menguasai suatu teknologi atau bidang kerja, maka kita beri dia tanggung jawab.
Di situlah kemampuan SDM Indonesia akan berkembang setara dengan ekspatriat. Keberanian dan kepercayaan dirinya akan tumbuh. Lewat SRK inilah, saya mendapat kesempatan mengirim SDM-SDM nasional untuk mengerjakan proyek-proyek SRK di negara lain. Seperti di Australia, bahkan ada yang pernah dikirim ke Madagaskar, Afrika.

Ditemui Majalah TAMBANG di kantornya, Kamis, 10 Februari 2011, Budi Santoso mengaku perkenalannya dengan SRK Consulting berawal dari informasi seorang teman. Saat itu di penghujung 2008, SRK sedang mencari seorang profesional untuk membuka kantor cabang di Indonesia. Sempat ia tidak terlalu tertarik, namun Disan memutuskan mencoba mengirimkan CV, setelah diyakinkan oleh rekannya.
Tak disangka, pihak SRK di Australia menindaklanjutinya dengan mengadakan teleconference. Ternyata SRK langsung kesengsem pada kemampuan teknis serta net-working yang dimiliki Disan. Kehadiran Disan membuat SRK Consulting percaya diri membuka cabang di Indonesia.
Disan sendiri sejak duduk di bangku perguruan tinggi, dikenal sebagai aktivis. Ia aktif sebagai Jamaah Masjid Salman ITB, yang dikenal banyak melahirkan pemikir-pemikir brilian. Ditambah lagi, saat terjun ke dunia profesi, ia aktif sebagai pengurus PERHAPI. Pria berdarah Madura ini pun mengaku, jiwa nasionalisme dan patriotismenya dibangun lewat pendidikan di masa kecil dan remaja. Ayahnya, seorang tentara yang juga terlibat dalam revolusi 1945, menanamkan kecintaan yang begitu kuat pada Tanah Air.


Dewasa ini jargon-jargon cinta Tanah Air dan bangsa, seolah sudah klise. Bagaimana menurut Anda?
Mungkin bagi orang lain begitu. Tapi bagi saya tidak. Kalau saya hanya mengejar penghasilan besar, mungkin saya akan bertahan di tempat kerja saya sebelumnya. Namun obsesi saya adalah ingin berbuat banyak bagi orang lain. Praktis sejak mahasiswa, saya tidak pernah lepas dari aktivitas sosial, sampai sekarang. Saya dulu pernah mendirikan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) bernama Dabo Tani. Lembaga itu bergerak untuk memberikan bantuan pendidikan bagi suku terasing di Badui, Banten.
Saat di perguruan tinggi pun saya terlibat di Pramuka, Salman, dan ketika terjun ke dunia profesi, PERHAPI tempat saya menumpahkan segala visi dan kegelisahan tentang kondisi bangsa ini. Setelah itu saya memilih terjun ke SRK, ke dunia consulting. Karena menurut saya, kalau ingin membawa bangsa ini maju, maka salah satu instrumen yang bisa digunakan adalah dunia konsultan.

Apa yang bisa dilakukan lewat dunia konsultan?
Jadi ketika kita konsultan nasional berbicara dengan orang asing, maka kita bisa merekomendasikan penggunaan teknologi nasional, produk nasional, dan SDM nasional. Terus terang, saat memberikan rekomendasi itu, saya berpihak. Tapi itu bukan untuk kepentingan diri saya sendiri, tapi demi orang-orang pintar di negeri ini. Saya beri tahu rekan-rekan saya sesama anak bangsa, tolong kerjakan ini dengan standar internasional. Ternyata SRK puas dengan hasilnya.

Berarti kemampuan bangsa kita sudah sama dengan orang asing?
Lho, bahkan seringkali lebih bagus hasil kerja orang Indonesia ketimbang orang asing. Jangan salah, orang asing pun banyak yang berbohong. Makanya saat memberikan rekomendasi saya berani berpihak. Dampaknya, kemajuan bangsa kita juga terdorong. Buktinya banyak kontraktor-kontraktor asing yang mensubkontraktorkan pekerjaannya ke kontraktor Indonesia. Tapi repotnya, orang-orang pintar Indonesia tidak banyak bisa berbuat di negaranya. Karena terlalu banyak aturan yang mengekang dan melarang, seolah-olah bangsa kita ini dianggap masih seperti monyet.

Maksudnya?
Ya seperti monyet, dianggap tidak mempunyai kecerdasan berpikir. Sehingga segala sesuatu harus diatur, dibatasi, dan hanya boleh meniru. Konsep transfer teknologi yang digembar-gemborkan juga begitu, kita disuruh meniru seperti monyet. Monkey see, monkey do (monyet melihat, monyet meniru, red). Makanya kalau mau itu semua berubah, sejak awal kita harus memposisikan diri kita, anak bangsa dan negeri ini, setara dengan bangsa-bangsa lain.
Kalau kita masih menganggap bangsa sendiri seperti monyet, maka orang asing pun akan memperlakukan kita seperti monyet. Buktinya, ketika kita bekerja di perusahaan asing dan melakukan kesalahan, maka bos yang ekspatriat akan mengatakan ”you stupid, idiot...! (kamu bodoh, tak punya otak, red)”. Tapi kalau yang melakukan kesalahan sesama ekspatriat, pasti dia mengatakan ”oh... He did mistake (itu hanya kekeliruan, red)”.
Dua kalimat itu kelihatannya sederhana, tapi bermakna dalam dan menyakitkan. Bahwa orang asing sejak awal memang sudah menganggap bangsa kita bodoh, sehingga salah saat mengerjakan sesuatu. Sedangkan kalau ekspatriat (tenaga kerja asing) dianggap pasti pintar, kalau ada kesalahan maka itu hanya sebuah kekeliruan. Dan itu terjadi karena salah kita sendiri, yang suka menghamba pada orang asing. Buktinya ada kebijakan perbedaan rate gaji antara ekspatriat dan tenaga kerja Indonesia. Inilah yang saya sebut sebagai cacat pikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar