EDIE SACHS
Selama musim durian, itu adalah masa yang tepat berkunjung ke
Negeri Batak. Jika dihitung dengan usia, ini adalah tahun kesepuluh bagi saya meninggalkan keluarga
di “Pegunungan Mistis” itu dan
mencari pengalaman ke luar
“negeri” dalam mengisi hari dan hatiku.
Saya masih yakin bahwa selera “gaya hidup” saya untuk
musik dan makanan lahir dari
sana, termasuk juga seperti
cinta untuk ubi, durian,
dan tentunya pemandangan
yang dramatis terdiri dari deretan pegunungan berkabut yang terjal
mencolok yang berakhir
di danau biru mengejutkan. Jika kita
ingin mendapatkan kesan dan
pengalaman mistis, saya
berpendapat bahwa saya bahkan
juga tertarik pada praktek
meditasi dari duduk bersila (tidak pada kaki,
pikiran Anda, tapi
di atasnya) dengan
aroma jeruk purut dan kemenyan.
Begitulah…
Bagaimana kita menjadi siapa kita?
Bagaimana tempat,
estetika, sebuah geografi spiritual,
merasuk ke diri kita?
Sangat mudah untuk menyendiri
dengan Danau Toba dan membayangkannya sebelum
tahun 1900-an (Sebelum Elio
Modligiani/Italia mengumumkan pada dunia tentang kebenaran adanya
danau terluas di atas gunung), terutama
melalui mata nostalgia
10 tahun yang melihat semua itu dari kejauhan:
dari sebuah rumah modern
terlindung dari jalan
oleh dinding, dari
sensasi di mana kita
berenang, mengambil pelajaran Bahasa asing, dan menonton film-film Hollywood.
Keluargaku yang ada disana sekarang,
dalam situasi yang jauh
lebih modern, dan mungkin akan memberi anda pandangan
berbeda tentang Batak yang
perkasa dimana Kerajaan Minang, Aceh dan
Samudera Pasai bahkan Belanda tidak mampu mengambil tempat itu dengan beragam kejadian politik di
pesisir/pantai.
Saya putra Bangsa Batak dan
diri saya ingin
menjadi Batak yang tak tersentuh karena
“danau berkabut” yang eksotis.
Sekarang, sebelum
tuduhan Primordialisme
meluncur tepat ke arah saya
(saya menduga demikian,
walaupun jelas ini adalah subyektif tapi ini selalu tentang diri kita
sendiri), biarkan
saya mengungkapkan kecintaan saya,
bahkan jika tampaknya tidak
masuk akal atau membosankan
dan kampungan yang udik konvensional.
Terkadang,
kita menemukan diri kita setelah menahan
emosi cinta “dengan cara seseorang
mencium kening putrinya atau berbalik
melawan mereka karena selera
mereka memilih pria” sementara kita
tidak bisa mengabaikan “betapa
kayanya kita dalam arti mungkin/jika/seandainya.“
Saya sudah
“bergumul dengan
hasrat dan cerita saya“ seperti Andy Noya dalam “Kick Andy” di sebuah stasitu tv swasta, dan dari pengalaman formatif dan
masa kecil saya di Pegungungan Bukit Barisan.
Hal ini sebagian murni: sukacita
estetika dalam ornamen,
kelaparan akan kebenaran
untuk meluruskan sejarah sebuah negara yang tidak akan ceroboh mengutip catatan penjajah,
dan membuat tanda-tanda
yang terlihat dari masa lalu.
Tapi cerita ini juga sangat rumit, karena saya
ingin bayangkan- Bangsa Batak dan gunung mistisnya -bukan
khayalan sementara Masa hidup saya,
untuk dibungkus di bagian
terindah Indonesia adalah diri pribadi saya
sendiri.
Berkunjung atau pulang ke Tanah Batak bukan
sekedar mencari bagian jiwa dan cinta yang tertinggal tapi jati diri
ditengah Musim Durian.
=SachsTM=
http://filsafat.kompasiana.com/2012/08/29/musim-durian-mencari-cinta-dan-jati-diri-batak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar