Rabu, 29 Agustus 2012

Hukum Kemalasan Newton dan Kita

13461946231831574784
Ilustrasi/ Admin (shutterstock)
Benda yang diam akan berkecenderungan untuk tetap diam, dan benda yang bergerak akan berkecenderungan untuk tetap bergerak jika tidak ada gaya yang mempengaruhinya
*Hukum-Kelembaman, Newton


Penulis amatiran seperti saya ini sering kehilangan mood untuk menulis. Tidak sedikit tulisan pada akhirnya tak jadi saya selesaikan hanya karena merasa inspirasi telah menguap entah kemana. Atau mungkin menggagas suatu konsep, tetapi oleh karena sesuatu hal, saya menundanya. Atau bisa jadi merasa belum matang untuk menuliskan konsep tersebut, dan pada akhirnya tidak dituliskan sama sekali.
Kemudian saya menangkap suatu irama. Ketika saya mencoba konsisten untuk menulis, dengan sendirinya hasrat untuk tetap menulis itu datang. Dan, ketika suatu saat saya agak malas atau menunda untuk menuangkan ide ke dalam tulisan, sering sekali pada akhirnya saya tidak menuliskan apa-apa. Penundaan dapat menjadi sesuatu yang buruk. Dia bak perampok ide dalam menulis.
Orang yang tidak menulis akan berkecenderungan untuk tetap tidak menulis jika tidak ada motivasi dari luar dan kemudian dari dalam dirinya supaya menulis. Butuh pemantik untuk menyalakan api. Motif atau penggerak itu bisa datang dari dalam diri sendiri oleh karena sangat senang membaca.
Bacaan dan penulis favoritnya menjadi modelnya. Setelah tulis-menulis menjadi kesukaan, pada akhirnya ia menjadi suatu kesukaan. Dan penulis amatiran itu pun menjadi penulis professional dengan kekhasan gaya menulisnya.
Bukan hanya dalam Tulis-menulis
Tentu saja ‘hukum kemalasan’ ini tidak hanya berlaku dalam tulis-menulis. Tetapi berlaku untuk hampir semua kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Kita yang tidur selama delapan jam per hari, berkecenderungan untuk selalu tidur selama delapan jam. (Tapi sebaiknya kebiasaan ini dirubah. Tidur selama delapan jam perhari kebanyakan. Tidur selama delapan jam perhari berarti sepertiga waktu dalam sehari digunakan hanya untuk tidur. Kalaulah kita berumur tujuh puluh lima tahun selama hidup di dunia, berarti, waktu yang kita gunakan untuk tidur selama dua puluh lima tahun!).
Saya teringat dengan guru sejarah kami ketika SMA dulu. Pak guru ini sangatlah latah bilang, “iya”. Sebentar-sebentar memberikan penjelasan, kata “iya” selalu mengekor di akhir kalimatnya. Saya dengan teman semeja saya dengan nakalnya menghitung dengan menggunakan turus berapa kali si guru bilang “iya” alih-alih mendengar penjelasan yang membosankan dan terus saja membosankan. (Sebenarnya sejak dulu pun saya suka mata pelajaran sejarah. Tapi saya lebih suka mempelajarinya sendiri daripada mendengar penjelasan guru ini). Dalam waktu beberapa menit saja, turus kami sudah belasan kali.
Kisah lainnya. Salah seorang rekan guru saya di SMP adalah perokok. Kesempatan merokok selalu guru fisika ini rindukan. Beberapa kali mencoba berhenti. Dan selalu saja gagal. Berhenti selama seminggu, kemudian kembali lagi. Lalu kembali membuat komitmen untuk berhenti merokok, berhasil, tapi untuk hanya dua minggu. Berubah itu sulit. Apalagilah kebiasaan itu sudah bertahun-tahun.
Duduk di bangku sekolah dasar dan menengah, saya tidak begitu rajin membaca. Gemar membaca baru tumbuh kembang ketika duduk di bangku kuliah. Dan sekarang, membaca itu menjadi suatu kebutuhan.
Perubahan
Kebiasaan berkecenderungan untuk selalu dilakukan. Ada sesuatu yang kurang kalau tidak dilakukan. Kita nyaman dengan yang kita miliki. Ini jugalah yang membuat kita takut dengan perubahan — sekalipun perubahan ke arah yang lebih baik. Ada kecenderungan untuk tetap dalam kondisi tidak berubah. Tampaknya kita menyukai status quo — mempertahankannya. Inilah hukum kemalasan.
Perubahan kecil yang dilakukan dengan konsisten perlahan akan menjadi perubahan besar. Yang utama, komitmen untuk berubah. Masa depan adalah suatu perjalanan. Dan perubahan adalah bagian dari perjalanan itu. Dimikian kutipan dari salah satu buku yang pernah saya baca.
Watak
Tampaknya jauh lebih sulit untuk berubah ke arah yang lebih baik daripada ke arah yang lebih buruk. Demikian susah membangun akhlak mulia daripada ‘hina’. Betapapun tidak pernah ‘dididik’ orang tuanya untuk berbohong, anak kecil sudah tahu bagaimana berbohong. Ketika dengan tak sengaja si kecil memecahkan guci antik dengan permainan bolanya, dan rasa takut mulai menekan akalnya, naluri untuk berdusta langsung saja terbersit. Tidak adanya saksi mata akan dimanfaatkan untuk mencari dalih.
Barangkali tepatlah bahwa tabiat dasar, natur kita, bukanlah makhluk yang suci, melainkan perpaduan (tidak sempurna) antara baik dan jahat.
Berbeda dengan mesin, kecenderungan atau kebiasaan kita akan terakumulasi dan berbunga. Apabila ‘iklim lingkungan’ mendukung, maka kebiasaan baik (atau buruk) akan menyemburkan bunganya sampai berlipat ganda. Itulah sebabnya, struktur yangmemberikan banyak celah untuk korup, akan menjadi ladang subur bagi koruptor. Kelas teri akan demikian cepatnya tumbuh-kembang menjadi kelas kakap.
Pilihan-pilihan kecil sehari-hari untuk menjadi pribadi yang lebih baik akan demikian berpengaruh di masa depan.

RUSTAM E. SIMAMORA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar