BANDUNG, KOMPAS.com — 10 Agustus 1995, pesawat buatan Indonesia N-250 terbang pertama kalinya. Momen tersebut kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas).
Jumat (10/8/2012) ini adalah tepat 17 momen itu berlalu. Momen ini dirayakan di Bandung dalam serangkaian acara, mulai dari RITech Expo di Sasana Budaya Ganesha, Triple Helix Conference, dan upacara di Gedung Sate hari ini.
Dalam paparannya di konferensi pers seusai upacara hari ini, insinyur dan mantan Presiden BJ Habibie mengajak Indonesia untuk merenungi apakah Indonesia kali ini merayakan kebangkitan atau keterpurukan dalam teknologi nasional.
Habibie menguraikan, 17 tahun lalu, generasi penerus bangsa tidak hanya menghadiahkan pesawat N250 kepada Indonesia. Mereka juga menghadiahkan kapal untuk 500 penumpang dan kereta api cepat.
"Hadiah HUT Kemerdekaan ke-67, apa yang dapat kita persembahkan pada Hari Kebangkitan Nasional, 17 tahun setelah prestasi membanggakan itu. Bagaimana industri strategis yang telah menghasilkan produk andalan yang membanggakan 17 tahun lalu itu?" kata Habibie.
Habibie menjelaskan, pembuatan produk-produk tersebut telah dihentikan pembinaannya. PT Dirgantara Indonesia yang dulu memiliki 16.000 karyawan, misalnya, kini hanya tinggal punya 3.000 karyawan yang akan pensiun dalam 3-4 tahun ke depan. Tak ada kaderisasi.
Badan Pengelola Industri Strategis yang memiliki turn over 10 milliar dollar AS dan 48.000 karyawan dibubarkan. Industri pesawat terbang, kereta api, mesin, elektronik, dan komunikasi tak lagi mendapat perhatian.
"Keppres No 1 Tahun 1980 tentang ketentuan penggunaan produk pesawat buatan dalam negeri dihapus dan PT DI tidak lagi didukung secara finansial maupun kebijakan industri pendukung lainnya," jelas Habibie.
Habibie menambahkan, biaya pengembangan pesawat dan SDM dihitung sebagai utang. PT DI tak lagi menitikberatkan pada rancang bangun pesawat. PT DI tak mampu melakukan regenerasi sehingga kredibilitas sebagai produsen pesawat terancam.
Pada saat yang sama, urai Habibie, Indonesia hanya menjadi konsumen teknologi. Pertumbuhan penumpang pesawat meningkat, tetapi industri pembuatan pesawat yang bisa memenuhi kebutuhan dihentikan.
Padahal, kata Habibie, dalam tiap industri strategis yang dilakukan, terkandung jam kerja yang mampu memberikan lapangan kerja, memeratakan pembangunan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan.
"Kita harus pandai memproduksi barang apa saja yang dibutuhkan di pasar nasional dan memberi insentif kepada siapa saja yang memproduksi di dalam negeri, menyediakan jam kerja, dan akhirnya lapangan kerja," tutur Habibie.
Saat ini, Indonesia lebih banyak menyediakan sumber daya alam untuk diolah negara lain. Saat akhirnya produk olahan dibeli di Indonesia lagi, sebenarnya Indonesia sedang membeli jam kerja negara lain. Dan, itu merupakan penjajahan.
Dalam kesempatan Hakteknas kali ini, Habibie punya tiga rekomendasi. "Rebut kembali jam kerja! Wujudkan kembali karya nyata yang pernah kita miliki untuk pembangunan peradaban Indonesia! Bangkitlah, sadarlah atas kemampuanmu!"
Jumat (10/8/2012) ini adalah tepat 17 momen itu berlalu. Momen ini dirayakan di Bandung dalam serangkaian acara, mulai dari RITech Expo di Sasana Budaya Ganesha, Triple Helix Conference, dan upacara di Gedung Sate hari ini.
Dalam paparannya di konferensi pers seusai upacara hari ini, insinyur dan mantan Presiden BJ Habibie mengajak Indonesia untuk merenungi apakah Indonesia kali ini merayakan kebangkitan atau keterpurukan dalam teknologi nasional.
Habibie menguraikan, 17 tahun lalu, generasi penerus bangsa tidak hanya menghadiahkan pesawat N250 kepada Indonesia. Mereka juga menghadiahkan kapal untuk 500 penumpang dan kereta api cepat.
"Hadiah HUT Kemerdekaan ke-67, apa yang dapat kita persembahkan pada Hari Kebangkitan Nasional, 17 tahun setelah prestasi membanggakan itu. Bagaimana industri strategis yang telah menghasilkan produk andalan yang membanggakan 17 tahun lalu itu?" kata Habibie.
Habibie menjelaskan, pembuatan produk-produk tersebut telah dihentikan pembinaannya. PT Dirgantara Indonesia yang dulu memiliki 16.000 karyawan, misalnya, kini hanya tinggal punya 3.000 karyawan yang akan pensiun dalam 3-4 tahun ke depan. Tak ada kaderisasi.
Badan Pengelola Industri Strategis yang memiliki turn over 10 milliar dollar AS dan 48.000 karyawan dibubarkan. Industri pesawat terbang, kereta api, mesin, elektronik, dan komunikasi tak lagi mendapat perhatian.
"Keppres No 1 Tahun 1980 tentang ketentuan penggunaan produk pesawat buatan dalam negeri dihapus dan PT DI tidak lagi didukung secara finansial maupun kebijakan industri pendukung lainnya," jelas Habibie.
Habibie menambahkan, biaya pengembangan pesawat dan SDM dihitung sebagai utang. PT DI tak lagi menitikberatkan pada rancang bangun pesawat. PT DI tak mampu melakukan regenerasi sehingga kredibilitas sebagai produsen pesawat terancam.
Pada saat yang sama, urai Habibie, Indonesia hanya menjadi konsumen teknologi. Pertumbuhan penumpang pesawat meningkat, tetapi industri pembuatan pesawat yang bisa memenuhi kebutuhan dihentikan.
Padahal, kata Habibie, dalam tiap industri strategis yang dilakukan, terkandung jam kerja yang mampu memberikan lapangan kerja, memeratakan pembangunan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan.
"Kita harus pandai memproduksi barang apa saja yang dibutuhkan di pasar nasional dan memberi insentif kepada siapa saja yang memproduksi di dalam negeri, menyediakan jam kerja, dan akhirnya lapangan kerja," tutur Habibie.
Saat ini, Indonesia lebih banyak menyediakan sumber daya alam untuk diolah negara lain. Saat akhirnya produk olahan dibeli di Indonesia lagi, sebenarnya Indonesia sedang membeli jam kerja negara lain. Dan, itu merupakan penjajahan.
Dalam kesempatan Hakteknas kali ini, Habibie punya tiga rekomendasi. "Rebut kembali jam kerja! Wujudkan kembali karya nyata yang pernah kita miliki untuk pembangunan peradaban Indonesia! Bangkitlah, sadarlah atas kemampuanmu!"
Editor :
A. Wisnubrata
Hakteknas.Kebangkitan.atau.Keterpurukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar