Jumat, 11 November 2011

Renungan Hari Pahlawan 10 November 2011

10 Nopember 1945

TIDAK banyak masyarakat maupun instansi pemerintah memperingati hari pahlawan, pada 10 Nopember 1945. Pasalnya, hari pahlawan yang jatuh pada tanggal tersebut masih sangat tabu untuk diperingati. Masyarakat lebih suka memperingati hari kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Pada hal kalau kita mau melihat sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan tidak sedikit pengorbanan yang diberikan kepada bangsa ini. Harta dan jiwa mereka pertaruhkan, tanpa mengenal pamrih.
Para pahlawan berjuang siang malam bahkan sampai berhari-hari mereka harus meninggalkan keluarga, tinggal di hutan-hutan belantara, tanpa harus meminta imbalan dari siapapun. Jerih payah perjuangan mereka begitu tulus dalam rangka untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah asing.

Begitu banyak para pahlawan gugur di medan laga. Begitu banyak harta mereka pertaruhkan. Namun semangat perjuangan mereka hilang begitu saja, seperti tidak terkenang oleh bangsa ini. Mereka malah lebih suka merayakan hari proklamasi kemerdekaan, dengan berbagai kegiatan, serta beraneka ragam budaya di pagelarkan ketika itu.

Sementara nasib para pejuang didalam memerdekakan bangsa ini seolah tiada dikenang, apa lagi diperingati secara besar-besaran. Sebenarnya, kalau mau jujur secara psykologis ada semacam perbedaan karakter dari sebagian anak bangsa di negeri ini. Mereka yang berjuang dengan susah payah didalam merebut kedaulatan bangsa, justru malah tidak dijadikan salah satu momen penting. Akibatnya, anak-anak bangsa di negeri ini sangat tidak mengenang akan hari pahlawan.

Kondisi semacam ini sudah tentu memberikan indikasi pembelajaran yang tidak imbang. Pasalnya, disatu sisi proses pembentukan karakter anak bangsa menjadi terkebiri oleh akibat pembentukan sejarah perjuangan bangsa ini tidak menyentuh secara sporadic kedalam jiwa-jiwa anak bangsa di negeri ini. Disisi lainnya, masyarakat atau dunia historika sama sekali tidak diperkenalkan kepada anak-anak kita. Wajar kalau anak-anak kita lebih kenal dengan hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dari pada hari pahlawan 10 Nopember 1945.

Gejala semacam itu secara eksplisit harus segera diwujudkan secara transparan kepada anak-anak kita. Sehingga mereka tahu dan mengerti serta memahami bahwa kemerdekaan suatu bangsa tidak terlepas dari pengorbanan para pejuang-pejuang bangsa di negeri ini.

Bukan hanya dilakukan pengenalan itu melalui pengheningan cipta, sambil berucap “ Untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur di medan juang, mari kita semua mengheningkan cipta sejenak “ bukan itu paradoksi pengenalan diri kepada anak-anak penerus bangsa ini. Tapi bagaimana seorang guru maupun tokoh pemerintahan di Negara tercinta ini memberikan pembelajaran terhadap proses pengenalan sebuah hari nasionalisme kepada mereka.

Pengenalan hari patriotisme kepada anak bangsa, bukan hanya sebatas usainya suatu peperangan, melainkan siapa pelaku dari proses peperangan menuju kepada hari kemerdekaan. Bukan juga, mengajak anak-anak untuk pergi ke Makam Pahlawan di Kali Bata sana. Atau mengajak anak-anak pergi melihat kapal-kapal perang milik Angkatan Laut, Darat, maupun Udara. Atau diajak ke museum-museum perjuangan, baik yang ada di Jakarta maupun yang ada di Daerah-Daerah. Hal itu boleh saja dilakukan. Mereka diajak ke sana dalam rangka memberikan pemahaman sejarah perjuangan maupun membentuk karakter mereka agar mengenal alat-alat perang yang dipergunakan saat itu.

Proses pendidikan tidaklah menjadi percuma, sepanjang anak-anak bisa mengenal dan memahami serta mengerti perjalanan maupun perkembangan sejarah bangsa ini. Selain itu, yang harus menjadi pusat perhatian dari pengenalan anak bangsa terhadap hari peringatan, dalam hal ini perlu juga kita mengenalkan pahlawan selain pahlawan revolusi, yaitu “ Pahlawan tanpa tanda jasa “.

Pahlawan satu ini memang berjuang tidak memakai persenjataan canggih. Tapi perjuangan mereka sungguh sangat canggih. Mereka mampu merubah dunia gelap menjadi terang benderang, manusia bodoh menjadi cerdas. Sudah banyak dari tangan-tangan dingin mereka mencuatkan predikat terhormat, baik dimata Nasional maupun Internasional. Melalui pahlawan tanpa tanda jasa tersebut perubahan dunia berubah sangat cepat.

Dunia begitu mengakui peranan pahlawan satu ini. Bahkan melebihi dari peranan pahlawan-pahlawan revolusi. Kalau pahlawan revolusi telah mampu merubah bangsa terjajah menjadi terbebas. Kalau “ Pahlawan Tanpa Tanda Jasa “ mampu merubah sebuah peradaban manusia dari keterpurukan menjadi sebuah bangsa yang beradab.

Melalui ilmu pengetahuan dan tekhnologinya para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut telah mampu mengangkatnya kejenjang sebuah pemikiran maju. Melalui ilmunya, mereka telah mampu membawa bangsa ini kepada bangsa yang mencintai ilmu pengetahuan.

Tidak sedikit para pelajar-pelajar Indonesia berprestasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Baik prestasi Nasional maupun Internasional. Tidak sedikit pula para pelajar kita hasil penelitiannya dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa ini. Untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Semua itu adalah berkat jasa para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut didalam merefleksikan ilmunya demi untuk kecerdasan anak bangsa di negeri tercinta Indonesia ini.

Namun sayang, jerih payah perjuangan mereka sedikit sekali yang mau menghargainya. Bahkan kecenderungan di lupakan oleh sebagian masyarakat. Tidak jarang pula, nasib mereka justru terkebiri. Pantas kalau Iwan Fals, menyanyikan sebuah lagunya menyebutkan bahwa Guru itu seperti “Umar Bakri “ gaji kecil selalu dikebiri.

Profesi seorang guru, tidak begitu terlalu penting. Pasalnya, profesi seorang guru akan menjadi penting, bila koneksitas pekerjaan sudah mencapai titik maksimal. Umpamanya, seorang guru telah menjadi pejabat, seorang guru telah sukses dalam bidangnya baik sebagai professional maupun sebagai pejabat public atau sebagai figure dari suatu profesi. Baru hal itu dikatagorikan sebagai seorang guru yang sukses mendapat prioritas, sportifitas, dari berbagai kalangan. Baru mereka dihargai dan diberikan aplaus.

Jadi perioritas seorang guru harus mendapat tempat pada setiap jejaring produktifitas profesi. Bukan semata diberikan penghargaan, pengenalan, pemahaman, kepada anak bangsa itulah nasib guru. Maka itu “ wahai bapak dan ibu guru, engkaulah pelita hatiku, penerang jiwa hidupku, jasamu tanpa mengenal tanda jasa “ Semoga.

*** (Penulis adalah wartawan MADINA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar