Minggu, 09 Oktober 2011

Sebuah Cerita Tentang Qurban

Oleh: Harris

Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat berjualan hewan qurban. Saat pintu mobil kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku, dengan spontan aku menutupnya dengan saputangan. Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual yang hanya bersarung hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim. Tidak terkecuali juga anak-anak yang ikut menemani orang tuanya melihat hewan yang akan diqurbankan pada Idul Adha nanti. Sebuah pembelajaran yang cukup baik bagi anak-anak sejak dini tentang pengorbanan Nabi Allah Ibrahim & Nabi Ismail.

Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi memilih hewan yang akan disembelih saat qurban nanti. Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk panjang, ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.

"Berapa harga kambing yang itu, Pak?" ujarku menunjuk kambing coklat tersebut. "Yang coklat itu yang terbesar, Pak. Kambing Mega Super, dua juta rupiah tidak kurang," kata si pedagang berpromosi sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.

"Tidak bisa turun, Pak?" Kataku mencoba bernegosiasi.

" Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal" si pedagang bertahan.

"Satu juta lima ratus ribu, ya?" Aku melakukan penawaran pertama

"Maaf Pak, masih jauh." Ujarnya cuek.

Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran terendah berharap si pedagang berubah pendirian dengan menurunkan harganya.

"Oke Pak, bagaimana kalau satu juta tujuh ratus lima puluh ribu?" Kataku.

"Masih belum nutup pak." Ujarnya tetap cuek

"Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik?" Ujarku berdalih mencoba melakukan penawaran termurah.

"Yah Bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia nggak bisa datang ke sini sendiri."

"Tetap saja harus diangkut mobil Pak, dan mobil bahan bakarnya bukan rumput," kata si pedagang meledek.

Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini. Tidak menawarkan harga selain yang sudah dikemukakannya diawal tadi. Pandangan aku alihkan ke kambing lainnya yang lebih kecil dari si coklat. Lumayan bila ada perbedaan harga lima ratus ribu. Kebetulan dari tempat penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban mobil. Mengganti ban belakang yang sudah mulai terlihat halus tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang harganya kini selangit.

"Kalau yang belang hitam putih itu berapa, Bang?" kataku kemudian.

"Nah yang itu Super biasa. Satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah." katanya

Belum sempat aku menawar, disebelahku berdiri seorang kakek menanyakan harga kambing coklat Mega Super tadi. Meskipun pakaian "korpri" yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya masih terlihat segar.

"Gagah banget kambing itu. Berapa harganya, Mas?" Katanya kagum

"Dua juta tidak kurang tidak lebih, Kek." Kata si pedagang setengah malas menjawab setelah melihat penampilan si kakek.

"Weleh, larang men regane?" Kata si kakek dalam bahasa Purwokertoan. "Bisa di tawar, kan ya, Mas?" Lanjutnya mencoba negosiasi juga.

"Cari kambing yang lain aja, Kek." Si pedagang terlihat semakin malas meladeni.

"Nggak usah, Mas. Saya mau qurban yang bagus dan gagah tahun ini."

"Uanganya cukup untuk membayar kok, Mas." Katanya tetap bersemangat seraya mengeluarkan bungkusan dari saku celananya. Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di bukanya, enam belas lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang lima puluh ribuan dikeluarkan dari dalamnya.

"Ini 2 juta rupiah, Mas. Kambingnya diantar ke rumah ya, Mas?" lanjutnya mantap tetapi tetap bersahaja.Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya sejak tadi. Dengan wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima uang yang disodorkan si kakek, kemudian dihitungnya perlahan lembar demi lembar uang itu.

"Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah," si pedagang mengeluarkan selembar lima puluh ribuan.

"Nggak ada ongkos kirimnya, toh?" Si kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih.

"Dua juta sudah termasuk ongkos kirim," si pedagang yang cukup jujur memberikan lima puluh ribu ke kakek.

"mau di antar kemana, Mbah?" (tiba-tiba panggilan kakek berubah menjadi mbah)

"Alhamdulillah, lebih lima puluh ribu, bisa ditabung lagi," kata si kakek sambil menerimanya. "Tolong antar ke desa dekat situ, ya, sampai di Masjid Baiturahman, tanya saja rumah Mbah Sutrimo, pensiunan pegawai Pemda Pasir Mukti. Insyaallah, anak-anak situ sudah pada tahu."

Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang telah disepakatinya, si kakek berjalan ke arah sebuah sepeda tua yang disandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari mobil milikku. Perlahan diangkat dari sandaran, kemudian dengan sigap dikayuhnya tetap dengan semangat.

Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya berbalik kearah berlawanan dalam pandanganku. Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendara sepeda engkol, sanggup membeli hewan qurban yang terbaik untuk dirinya. Aku tidak tahu persis berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap bulan oleh si kakek. Yang aku tahu, di sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang berdiri dengan mewah, rata-rata penduduk sekitar desa Pasir Mukti hanya petani dan para pensiunan pegawai rendahan.

Yang pasti secara materi, sangatlah jauh dibanding penghasilanku yang sanggup membeli rumah di kawasan cukup bergengsi, yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang harga bannya saja cukup membeli seekor kambing Mega Super, yang sanggup mempunyai hobby berkendara moge (motor gede) dan memilikinya. Yang sanggup mengoleksi raket hanya untuk olah raga seminggu sekali. Yang sanggup juga membeli hewan qurban dua ekor sapi sekaligus.

Tapi apa yang aku pikirkan? Aku hanya hendak membeli hewan qurban yang jauh di bawah kemampuanku yang harganya tidak lebih dari service rutin mobilku, kendaraanku di dunia fana. Sementara untuk kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat membelinya.

Ya Allah, Engkau yang Maha membolak-balikan hati manusia, balikkan hati hambaMu yang
tak pernah bersyukur ini ke arah orang yang pandai mensyukuri nikmatMu

Sumber: http://www.griyamelati.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar