Qurban Yu Timah
Oleh: Y.
Rehmedi
Yu Timah adalah penerima (Subsidi Langsung Tunai) SLT yang
sebenarnya. Maka rumahnya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya
sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan
milik sendiri. Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak
menikah. Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah
yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah Yu Timah
perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu, setelah remaja Yu Timah
bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang
terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran pembantu rumah tangga.
Dia kembali ke kampung kami. Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk
buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di
atas tanah tetangga yang bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin
itu.
Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka
ia berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang
mondok di pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah
bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya. Setelah
emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai anak itu
hingga tamat SD. Namun anak tersebutpun harus mencari makan. Maka dia tersedot
arus perdagangan pembantu rumah tangga dan lagi-lagi terdampar di Jakarta.
Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah kembali hidup
sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus.
Alhamdulillah di kampung kami ada pesantren kecil. Para santrinya adalah
anak-anak petani yang biasa makan nasi yang dijual Yu Timah.
Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira
pasti dia mau bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih
bisa menabung di Bank Perkreditan Rakyat Syariah dimana saya ikut jadi pengurus.
Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu, sebab dia orang
miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10.000 setiap bulan. Namun
setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu.
Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang
seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan mengangkat harga diri.
Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650.000.
Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya.
Malah maunya bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.
”Pak, saya mau mengambil tabungan”, kata Yu Timah dengan
suaranya yang kecil.
”O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore, bank
kita sudah tutup. Bagaimana kalau Senin?”
”Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa”.
”Mau ambil berapa?” tanya saya.
”Enam ratus ribu, Pak.”
”Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?”
Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum
malu-malu. ”Saya mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya
tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing”.
Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan
dia mengulangi kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan
tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang tabungannya.
Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli
kambing kurban.
”Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan saya berikan
sebesar enam ratus ribu. Tapi Yu, sebenarnya Yu Timah tidak wajib berkurban. Yu
Timah bahkan wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada.
Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing
kurban?”
”Iya Pak, saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin
berkurban. Selama ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin
jadi pemberi daging kurban”.
”Baik, Yu. Besok akan saya ambilkan uangnya”.
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya
berbinar. Lalu minta diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.
Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah mendengar,
mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan
oleh Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan
demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya?
Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kau yang belum naik haji,
atau tidak akan pernah naik haji, namun kau sudah jadi orang yang suka
berkurban. Kau sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi,
atau pakaian yang bagus. Uangmu malah kau belikan kambing kurban. Meski saya
dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya
ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga.
Contact
Person :
Edwar Yusa
ZIS Consultant Online Rumah Zakat
Jalan Turangga No. 25 C Bandung - Indonesia
Phone: (022) 7332407
Fax: (022) 7332478
Mobile: 0852 2150 8382 / 022 9578 7883
E-Mail: edwaryusa_rzi@yahoo.com ; edwar.rumahzakat@gmail.com
ID YM: edwaryusa_rzi
http://www.rumahzakat.org
Edwar Yusa
ZIS Consultant Online Rumah Zakat
Jalan Turangga No. 25 C Bandung - Indonesia
Phone: (022) 7332407
Fax: (022) 7332478
Mobile: 0852 2150 8382 / 022 9578 7883
E-Mail: edwaryusa_rzi@yahoo.com ; edwar.rumahzakat@gmail.com
ID YM: edwaryusa_rzi
http://www.rumahzakat.org
Optimalkan
Qurban Anda dalam program Superqurban:
Kambing
Rp 1.200.000
Sapi
Rp 9.950.000
Sapi
Retail Rp 1.425.000
Informasi
lengkap mengenai Superqurban, silahkan klik:
Baca/Download
Majalah Rumah Lentera edisi Oktober 2011:
Rekening
Donasi : a.n Yayasan Rumah Zakat Indonesia
BCA: 094 301 6001
Mandiri: 132000 481 9745
Mandiri Syariah: 125 00155 55
BNI Syariah: 155 555 5589
Permata Syariah: 377 100 1555
BCA: 094 301 6001
Mandiri: 132000 481 9745
Mandiri Syariah: 125 00155 55
BNI Syariah: 155 555 5589
Permata Syariah: 377 100 1555
*Setelah Transfer, mohon
untuk konfirmasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar