Di sebuah negeri, hiduplah dua orang pengrajin yang tinggal bersebelahan. Seorang diantaranya, adalah pengrajin emas, sedang yang lainnya pengrajin kuningan. Keduanya telah lama menjalani pekerjaan ini. Sebab ini adalah pekerjaan yang diwariskan secara turun-temurun. Telah banyak pula barang yang dihasilkan dari pekerjaan ini, cincin, kalung, gelang, dan untaian rantai penghias adalah beberapa dari hasil kerajinan mereka.
Setiap akhir bulan, mereka membawa hasil pekerjaan ke kota. Hari pasar, demikian mereka biasa menyebut hari itu. Mereka akan berdagang barang-barang logam itu, sekaligus membeli barang-barang keperluan lain selama sebulan. Beruntunglah, pekan depan akan ada tetamu agung yang datang mengunjungi kota dan bermaksud memborong barang-barang yang ada disana. Kabar ini tentu membuat mereka senang. Berita ini akan membuat semua pedagang mempersiapkan lebih banyak barang yang akan dijajakan.
Siang-malam, terdengar suara logam yang ditempa. Setiap dentingnya, layaknya nafas hidup bagi mereka. Tungku-tungku api, seakan tak pernah padam. Kayu bakar yang tampak membara, seakan menjadi penyulut semangat keduanya. Percik-percik api yang timbul tak pernah di hiraukan mereka. Keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sudah puluhan cincin, kalung, dan untaian rantai penghias yang siap dijual. Hari pasar makin dekat. Dan lusa, adalah waktu yang tepat untuk berangkat ke kota.
Dan keduanya pun sampai di kota. Hamparan terpal telah digelar, tanda barang dagangan siap dijajakan. Keduanya pun berjejer berdampingan. Tampaklah, barang-barang logam yang telah dihasilkan. Namun, ada perbedaan yang mencolok diantara keduanya. Walaupun terbuat dari logam mulia, barang-barang yang dibuat oleh pengrajin emas tampak kusam. Warnanya tak berkilau, ulir-ulirnya kasar, dengan pokok-pokok simpul rantai yang tak rapi. Seakan sang pembuatnya adalah seorang yang tergesa-gesa.
“Ah, biar saja,” demikian ucapan yang terlontar saat pengrajin kuningan menanyakan kenapa perhiasaan kawannya itu tampak kusam.
“Setiap orang akan memilih daganganku, sebab emas selalu lebih baik dari kuningan,” ujar pengrajin emas lagi.
“Apalah artinya loyang buatanmu dibanding logam mulia yang kupunya? aku akan membawa uang lebih banyak darimu.”
Pengrajin kuningan hanya tersenyum. Ketekunannya mengasah logam membuat semuanya tampak lebih bersinar. Ulir-ulirnya halus. Lekuk-lekuk cincin dan gelang buatannya terlihat seperti lingkaran yang tak putus. Liku-liku rantai penghiasnya pun lebih sedap dipandang mata.
Ketekunan memang sesuatu yang mahal. Hampir semua orang yang lewat tak menaruh perhatian kepada pengrajin emas. Mereka lebih suka mendatangi dan melihat-lihat cincin dan kalung kuningan. Begitupun tetamu agung yang berkenan datang. Mereka pun lebih menyukai benda-benda kuningan itu dibandingkan dengan logam mulia. Sebab emas tersebut tidak cukup menarik perhatian dan membuat mereka mau membelinya.
Sekali lagi, terpampang kekontrasan di pasar itu. Pengrajin emas yang tertegun diam, dan pengrajin kuningan yang tersenyum senang. Hari pasar telah usai, dan para tetamu telah kembali pulang. Kedua pengrajin itu pun telah selesai membereskan dagangan. Dan agaknya, keduanya mendapat pelajaran dari apa yang telah mereka lakukan hari itu.
***
Teman, ketekunan memang sesuatu yang mahal. Tak banyak orang yang bisa menjalani pekerjaan ini. Begitu juga kemuliaan dan harga diri. Tak banyak orang yang menyadari, bahwa kedua hal itu kadang tak berasal dari apa yang kita sandang hari ini. Setidaknya tingkah laku kedua pengrajin itu, adalah potongan siluet kehidupan kita.
Ketekunan, adalah titian panjang yang licin berliku. Seringkali jalan panjang itu membuat kita tergelincir dan jatuh. Sering pula, titian itu menjadi saringan penentu bagi setiap orang yang hendak menuju kebahagiaan di ujung simpulnya. Namun percayalah, ada balasan bagi setiap ketekunan. Di ujung sana, akan ada sesuatu yang menunggu setiap orang yang mau menekuni jalan itu.
Emas dan kuningan, bisa jadi keduanya mempunyai nilai yang berbeda. Namun, apakah kemuliaan dinilai hanya dari apa disandang keduanya? Apakah harga diri hanya ditunjukkan dari simbol-simbol yang tampak di luar? Sebab, kita sama-sama belajar dari pengrajin kuningan, bahwa loyang, kadang bernilai lebih dibanding logam mulia.
Dan juga bahwa kemuliaan, adalah buah dari ketekunan. Bisa jadi saat ini kita pandai, kaya, punya kedudukan yang tinggi, dan hidup sempurna layaknya emas mulia. Namun, adakah semua itu berharga jika ulir-ulir hati kita kasar dan kusam? Adakah itu mulia, jika lekuk-lekuk kalbu kita koyak dan penuh dengan tonjolan-tonjolan kedengkian? Adakah itu semua punya harga, jika pokok-pokok simpul jiwa yang kita punya tak di penuhi dengan simpul-simpul ikhlas dan perangai yang luhur?
Teman, mari kita asah kalbu dan hati kita agar bersinar mulia. Mari, kita bentuk ulir dan lekuk-lekuk jiwa kita dengan ketekunan agar menampilkan cahaya-Nya. Susunlah simpul-simpul itu dengan jalinan keluhuran budi dan perilaku. Tempalah dengan kesungguhan diri, agar hati kita tak keras dan menjadi lembut, luwes serta mampu memenuhi hati orang lain.
Percayalah, akan ada imbalan untuk semua itu. Amin.
By: Fuat Mulyanto
Rumah Zakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar