TRIBUNNEWS.COM -
Berbagai pelajar di 41 negara yang masuk kelompok OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), diungkapkan tingkat kecerdasannya. Jepang merosot drastis dari yang tadinya peringkat kedua terpintar kini hanya peringkat keenam, untuk yang berusia 15 tahun. Dari segi membaca, kepintarannya juga menurun dari peringkat ke-15 dari sebelumnya peringkat ke-14. Dari segi penguasaan matematika juga menurun ke peringkat 10 dari sebelumnya peringkat ke-6. Terus-menerus menurun dari tahun ke tahun saat ini.
Menurut Sekjen OECD Angel Gurria, pelajar Jepang pintar dalam teoritis dan angka, tetapi bingung kalau sudah melakukan implementasi dalam kehidupan sesungguhnya.
Di lain pihak, kuil besar, Kiyomizu di Kyoto, 12 Desember 2007, mengumumkan bahwa kata “Gi” atau berarti pemalsuan, menjadi kata kunci untuk tahun 2007. Banyak sekali pemalsuan terjadi. Mulai pemalsuan daging dalam negeri yang dicampur daging Australia, pemalsuan kuitansi uang pensiunan negara, pemalsuan tanggal berakhir makanan sehingga bisa dijual lebih lama, bahkan pertengahan Desember ini terungkap pemalsuan data konstruksi 40 jalan raya di Jepang oleh perusahaan Fujimori Industries.
Apa arti semua itu bagi Jepang? Negeri Sakura yang begitu indah kini jauh berbeda. Manusianya banyak yang semakin malas, kejahatan kerah putih semakin banyak, berarti moral banyak manusianya semakin tidak benar, semakin degradasi. Lebih jauh berarti dalam berbisnis dengan Jepang kita pun harus berhati-hati. Apalagi orang Jepang yang sudah lama tinggal di Indonesia (empat tahun atau lebih), diperkirakan akan tercemar alam “kebohongan” di Indonesia. Suara besar tapi tak ada isinya. Jangan cepat percaya kepada mereka itu. Jangan heran apabila nantinya kemungkinan semakin banyak manusia Indonesia ditipu orang Jepang.
Keadaan Jepang memang telah berbeda. Generasi muda Jepang kebanyakan hanya berpikiran uang saja, terutama yang berada di perkotaan besar seperti Tokyo. Masa bodoh dengan persoalan sosial. Pengumpulan dana untuk kemanusiaan dianggap aneh. Jalur penyaluran dana kemanusiaan sudah tergariskan, yaitu melalui Palang Merah Jepang atau lewat Keidanren (Federasi Organisasi Ekonomi Jepang) bagi para pengusaha.
Jadi apabila kita satu kelompok masyarakat mengumpulkan, apalagi pribadi perorangan yang berinisiatif mengumpulkan dana kemanusiaan, akan sangat sulit melakukan kegiatan sosial tersebut di Jepang. Bisa-bisa bahkan berurusan sama polisi. Dianggap aneh bahkan dicurigai untuk cari uang bagi kantong sendiri. Padahal si pencari dana sosial pasti menjelaskan rinci dan melaporkan rinci semua kegiatannya. Meskipun demikian kasus uang dikorupsi atau digelapkan atas upaya pencarian dana kemanusiaan itu, terjadi pula di Jepang dan bahkan sudah ditangani pihak kepolisian Jepang.
Itulah Jepang. Semua sudah terpola dengan sistem yang ada. Ke luar dari rel kerangka yang sudah “established” maka kita dianggap orang aneh dan sulit sekali bahkan mungkin mustahil menembus kerangka tersebut.
Kebobrokan Jepang saat ini serta sikap materialistis yang ada di masyarakatnya tidak mengenal kata maaf. Kesalahan sekali habislah bisnis kita. Mungkin inilah yang sering disebut pola kerja kesempurnaan (kampeki na shigoto).
Karena itu sebelum terjadi kesalahan, semua diperiksa sangat teliti satu per satu sehingga memakan waktu cukup lama. Tak heran saat Windows 95 ke luar, Jepang ketinggalan setengah tahun (enam bulan) menerbitkan Versi Jepang Windows 95 tersebut karena perlu waktu penerjemahan dan uji coba berkali-kali yang semua itu membutuhkan waktu tidak sedikit.
Kerja yang sangat teliti dan sempurna ini perlu kita tiru. Tidak ada kerja 50 persen atau setengah-setengah. Yang ada hanyalah melakukan kerja 100 persen jadi dan selesai atau tidak sama sekali.
Karena itu apabila terjadi kesalahan kerja, risiko cukup besar dan kerugian juga besar, selain juga habis waktu dan habis energi untuk memperbaiki lebih lanjut.
Mungkin lain dengan pola pikir Indonesia yang “cincai-cincai” salah sedikit tidak apa-apalah. Apalagi kalau jual beli barang dengan harga murah, sering kali semakin tidak jelas hasilnya, "Beli barang murah aja rewel," malah kita diomelin si penjual.
Karena jangan heran kalau banyak pengusaha Indonesia yang agak atau bahkan kecewa berat saat berbisnis dengan orang Jepang yang disangka rewel, cerewet, pelit dan kesan negatif. Mengapa? Karena harus sempurna. Bukan soal murah atau mahal, kalau sudah "deal" harus dilaksanakan dan disampaikan dengan sempurna, tak boleh ada kekurangan sedikit pun.
Sebenarnya karena semua itu bagi pengusaha Jepang sudah ada standar dan hanya itu yang diinginkan tidak lebih tidak kurang. Di sinilah mungkin sering dianggap orang Indonesia sebagai kekakuan cara kerja orang Jepang.
Apabila di Indonesia kita mungkin senang menerima jumlah barang berlebih, belum tentu bagi pengusaha Jepang. Mengapa? Karena banyak faktor. Antara lain, tempat penyimpanan barang sudah diperhitungkan semua untuk berbagai jenis dan luasnya sangat terbatas.
Jadi apabila ada barang dikirimkan berlebih, berarti mengambil luas ruangan penyimpanan lebih besar dan hal ini justru malah mengacaukan penyimpanan barang jenis lainnya. Tidak seperti di Indonesia yang tanahnya atau tempat penyimpanannya sangat luas, tak menjadi masalah bagi barang yang berlebih.
Negeri penuh keterbatasan inilah membentuk karakter manusia serta pola pikir dan peraturan dalam kehidupan sehari-harinya. Mungkin dapat kita katakan, bahwa kehidupan masyarakat Jepang seperti robot. Tiap hari dari sini ke sana, melakukan yang itu-itu saja tak ada variasinya. Kalau suatu hari jalan menyerong sedikit, malah kebingungan.
Meskipun bisa dikatakan seperti robot, mereka sangat fokus pada bidang pekerjaan tertentu. Inilah mungkin yang membedakan dengan kita di Indonesia, serba bisa tapi tidak ada yang benar pada akhirnya, karena semua ingin dikerjakan. Mungkin bisa menjadi renungan bagi kita semua.
*) Penulis adalah CEO Office Promosi Ltd, Tokyo Japan, berdomisili dan berpengalaman lebih dari 20 tahun di Jepang
sumber:http://www.tribunnews.com/2013/02/12...enurun-drastis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar