Minggu, 30 Juni 2013
Jumat, 28 Juni 2013
Generasi "Aku Aku Aku" Indonesia
Sebuah artikel sampul majalah TIME edisi Mei lalu mengangkat analisis berjudul“The Me Me Me Generation - Why They’ll Save Us All”. Dalam artikel sepanjang enam halaman garapan sosialis Joel Stein itu dituangkan banyak fakta yang menjelaskan mengapa orang muda yang lahir antara tahun 1980 hingga 2000, bisa jadi masalah sekaligus “dinamika baru” bagi perkembangan dunia. Golongan generasi ini disebut sebagai millenial.
Dijelaskan, karakter generasi millenial yang paling nampak adalah malas, narsistis dan penuh gengsi, dan cenderung tidak mandiri. Setelah baca rampung artikel ini, saya berpikir bahwa Indonesia punya semua karakter generasi millenial. Stein menggarisbawahi kesimpulan bahwa dengan segala macam sifat kecintaan berlebihan terhadap diri sendiri, abai terhadap informasi-informasi signifikan dan terlalu banyak mengumbar hal-hal yang tidak relevan di internet, generasi millenial akan jadi penanda baru dalam sejarah peradaban. “Millenial tidak mencoba mengambil alih perbaikan dan pengembangan kehidupan, mereka bertumbuh sendiri tanpa perkembangan itu,” tulis Stein.
Saya mudah sekali melihat diri saya sendiri di cermin sebagai bagian dari generasi millenial dengan beberapa karakter yang masuk akal. Saya punya Twitter, pernah aktif di Facebook, menggemari fitur obrolan dan berbagi foto, sering mengeluh, malas untuk hal-hal yang sebenarnya baik, dan sangat berat untuk tidak mengikuti tren pakaian ataupun pemilihan gadget. Saya bahkan (di beberapa kasus) tidak tahu mengapa sebetulnya saya memiliki barang ini dan barang itu. Saya menghabiskan banyak uang untuk hal-hal yang tidak saya perlukan.
Akan tetapi saya tidak sepenuhnya menyalahkan diri sendiri. Pendapat yang membanding-bandingkan “generasi millenial” dengan generasi Oprah Winfrey, Jennifer Lopez hingga Agnes Monica di Indonesia menurut saya hanya sebuah tolok ukur untuk melihat sejauh mana peradaban (dengan revolusi arus informasinya) membentuk kecenderungan sosial kaum muda.
Saya masih senang menikmati jalan-jalan di kawasan Malioboro Yogyakarta di sore hari, saat orang-orang berkumpul di titik-titik keramaian. Memang narsisitas adalah hal yang paling kelihatan, jika saya mengingat masa kecil saya ketika kamera digital masih menjadi visi. Saya memang merindukan masa-masa saat teman-teman jalan-jalan menggenggam keranjang berisi jajanan untuk dijual dan bukannya ponsel berkamera. Di Yogyakarta, sebagai kota dinamis yang lebih dari separuh aktivitasnya melibatkan kaum muda, saya mudah saja menyimpulkan bahwa generasi 1990-an Indonesia membenarkan semua teori di atas.
Generasi “aku aku aku” Indonesia terbentuk karena persaingan global yang dipersenjatai kemajuan teknologi informasi. Jumlah kelas tengah Indonesia yang kini menyentuh angka 135 juta jiwa membentuk pencitraan baru bagi kaum muda di lingkungan sosial.
Mei lalu saya berbicara dengan Dr. Neila Ramdhani, dosen Psikologi UGM yang terlibat dalam riset pengaruh internet terhadap anak dan remaja. Ia berpendapat bahwa kecenderungan remaja saat ini mengikuti perkembangan teknologi, bukan didasari pada pengertian mereka terhadap dinamika informasi apalagi kemajuan teknologi itu sendiri. Saat seorang remaja SMA membeli iPhone, itu adalah karena dorongan eksternal, dan bukan pemahamannya sendiri terhadap perangkat yang digunakan. “Gadget di zaman sekarang bisa menjadi alat tawar yang kuat untuk mendapatkan posisi sosial,” jelasnya.
Seseorang dari kalangan bawah bahkan bisa merasa menjadi bagian dari kelas tengah bahkan atas ketika mereka memakai semua alat tawar yang dimaksud: pakaian, dandanan, kendaraan, ponsel, dsb. Walaupun itu berpura-pura. Bentuk pencitraan yang tidak terkontrol penuh membawa pada publisitas yang tidak seimbang.
Generasi “aku aku aku” dinilai sebagai pemalas dan sangat bergantung, cenderung tidak mandiri apalagi independen. Gemar memperlihatkan kemewahan yang bukan hasil kerja keras mereka alias pemberian orang tua. Mendambakan hasil tapi kurang menghargai proses. Mereka senang orang-orang mengetahui apa yang mereka lakukan dari bangun tidur sampai tidur lagi karena menganggap Twitter memberi kesempatan untuk itu. Sekelompok mahasiswa yang baru lulus mencari pekerjaan di sana sini atau mengikuti Job Fair dan sebagian dari mereka tidak tahu apa yang benar-benar mereka inginkan untuk perbaikan hidup. Pengalaman harian mereka yang lebih banyak menghabiskan waktu menonton reality show komedi percintaan di televisi atau membaca buku-buku hiburan menjadi pengalihan yang kuat dari pilihan hidup yang seharusnya sudah bisa ditentukan sejak usia 20.
Generasi sekarang abai terhadap hal-hal yang di luar minat mereka, atau di luar tren yang mereka ikuti. Generasi ini selalu mendambakan karir cemerlang di perusahaan besar setelah wisuda tetapi mereka kebingungan saat ditanya “apa yang bisa kau lakukan untuk membuat perubahan?” Saat mendapatkan karir baik, mereka tetap memoles diri karena mempercayai bahwa jenis pekerjaan masa kini masih terpisah-pisah dalam kasta.
Pe-de vs. narsisitas
Sekitar tahun 1970-an para ilmuwan dunia mempelajari pengarauh pengembangan kepercayaan diri bagi anak, yang di Amerika kemudian dikenal sebagai self-esteem, tingkat keempat dari lima tingkatan di teori Piramida Maslow. Kepercayaan diri atau yang di Indonesia sering disebut pe-de benar-benar jadi barang penting untuk diperkenalkan sebagai karakter moral seorang anak sejak lahir. Hanya saja dalam perkembangannya, kepercayaan diri ini menjelma menjadi tak terkendali.
Generasi millenial sering kali mengaku kepercayaan diri mereka terbentuk utuh, akan tetapi sulit membedakan pede dengan narsistis. Percaya diri bukanlah memfoto diri sendiri di depan cermin kamar mandi mal ataupun memasang foto di layar ponsel. Percaya diri bukanlah tampil gaya penuh warna di forum publik yang dihadiri oleh orang-orang penting dan terdidik. Kecenderungan keliru mengartikan narsistis sebagai percaya diri akan terlihat lucu, karena orang-orang dari generasi sebelum kita ini akan menemukan sebuah fenomena “transisi teori” yang mengejutkan. Pemaknaan terhadap “kepercayaan diri” justru hilang saat anak-anak muda dengan penampilan necis diminta berpidato di forum publik, kemudian terbata-bata.
Perhatikan saja. Banyak anak muda, dari remaja hingga usia 30, terlihat ingin tampil di publik secara visual. Mereka ingin jadi pusat perhatian akan tetapi enggan terlibat dalam publisitas nyata. Suka diperhatikan tapi tidak menunjukkan kepedulian. Narsisitas membawa sekelompok orang ceria dan warna-warni bergabung dengan kelompok lain yang punya kecenderungan dandanan sama, atau selera obrolan yang sama. Uniknya, tingkat kesetiaan dalam kelompok narsistis ternyata besar dan relatif tak bisa disaingi, sebagaimana diuraikan dalam buku Akar Kekerasan - Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia tulisan Erich Fromm. Lingkungan sosial jalanan memberi cap “gaul” tapi tidak mengakui keterlibatan anak-anak muda ini dalam fungsi lingkungan yang sebenarnya.
Beruntungnya, kecenderungan kelompok muda Millenial untuk berkelompok dan bergaul lebih luas memberi harapan bagi penyelesaian masalah-masalah sosial lainnya. Walaupun tingkat abai masyarakat meningkat, kelompok generasi “aku” tetap mempercayai bahwa mereka bisa melakukan sesuatu saat mereka hidup serius setelah usia 30. Ungkapan “bagaimana nantinya saja” kiranya akan menyelamatkan pembangunan bangsa yang nantinya akan dilakoni oleh muda-mudi yang saat ini masih bergaul ke sana ke mari. Bukti bahwa saat ini banyak instansi pemerintah memanfaatkan aktivitas kaum muda guna menuntaskan program-program berkelanjutan menjadi gejala yang menjanjikan. Tetap ada banyak ruang bagi muda-mudi yang mau berpikir relevan dan memiliki visi bagi pembangunan.
Generasi “aku aku aku” ala Millenial lahir setelah generasi yang di Amerika disebut sebagai Generasi X. Pendiri Facebook Mark Zuckerburg dan megabintang Lady Gaga jadi penanda penting bagi Millenial dunia, mengakhiri kejayaan generasi sebelumnya ala Warren Buffet dan Jennifer Lopez. Akan tetapi di Indonesia, tampaknya perubahan kejayaan antar-generasi ini belum akan terjadi dalam waktu yang dekat. Generasi X Indonesia setingkat aktris senior Jajang C. Noer, menteri perdagangan Gita Wirjawan atau sejarawan J.J. Rizal masih akan dipertahankan guna menyelamatkan peradaban bangsa. Jujur saja itu masuk akal, karena generasi Millenial kita masih belum muncul ke permukaan.
Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/06/27/generasi-aku-aku-aku-indonesia-572538.html
Minggu, 23 Juni 2013
Selasa, 18 Juni 2013
Tips Meminum Air Putih yang Benar
Banyaknya anjuran-anjuran yang berbeda mengenai jumlah asupan air putih perhari mungkin akan membuat kita bingung. Lalu anjuran minum air putih yang benar itu seperti apa sih?
- Minumlah air putih secukupnya, artinya tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak.Yang dikatakan terlalu berlebihan itu bagaimana sih?
Terkait berbagai dampak fatal yang terjadi pada perlari maraton akibat terlalu banyak minum air putih,International Marathon Medical Directors Association (IMMDA) menyarankan agar kita mengkonsumsi air minum saat kita merasa haus dan dahaga. Konsumsilah air minum secukupnya dan tidak berlebihan, yaitu tidak lebih dari 0.03 liter per kg berat badan. Jadi, misalnya seseorang memiliki berat badan 50 kg, konsumsi air minum yang diperbolehkan untuk orang tersebut adalah tidak lebih dari 1.5 liter per hari. Rekomendasi ini menjadi sangat logis, karena berat badan seseorang tentunya berpengaruh pada jumlah kebutuhan air yang harus diminumnya perhari. Orang yang lebih gemuk (berat badan lebih besar) tentunya membutuhkan air dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan orang yang kurus.
- Bila kita sering mendengar anjuran untuk mengkonsumsi air sebanyak 2 liter perhari, itu bukan berarti semua kebutuhan air yang diperlukan tubuh harus berasal dari air putih. Dua liter yang dianjurkan tersebut bisa juga termasuk dari makanan atau minuman yang banyak mengandung air, misalnya sup, air susu, buah, atau jenis makanan dan minuman lainnya yang mengandung air.
- Aturan minum 2 liter perhari berlaku bagi orang sehat. Sementera untuk penderita ginjal tentulah harus dibatasi, tidak boleh minum air putih terlalu banyak, karena akan semakin memperberat kerja ginjalnya.
- Minumlah air putih secara bertahap, jangan sekaligus dalam satu waktu. Contohnya, 1 gelas setelah bangun tidur, dilanjutkan 1 gelas sebelum dan sesudah sarapan, kemudian 1 gelas sebelum dan sesudah makan siang, satu gelas sebelum dan sesudah makan malam, dan 1 gelas sebelum tidur.Namun ternyata masih banyak orang yang salah kaprah tentang anjuran minum air putih ini, kaarena ingin mencukupi kebutuhan air untuk tubuh, mereka minum air putih banyak sekaligus dalam satu waktu. Dampak terlalu banyak minum air putih dalam satu waktu akan kita bahas dibawah.
- Kebutuhan air per hari untuk tiap-tiap orang berbeda bergantung pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu aktivitas fisik, cuaca, diet, berat badan, jenis kelamin, dan kondisi kesehatan. Untuk itu, minumlah secukupnya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing dan minumlah saat Anda merasa haus, karena haus dan dahaga adalah indikator terbaik untuk mengetahui kapan saatnya tubuh kita membutuhkan minum.
- Selain haus, Anda juga dapat mengetahui kecukupan jumlah cairan bagi tubuh lewat warna air seni (kencing). Bila air seni berwarna kuning cerah/bening dan jumlahnya banyak, itu berarti kebutuhan cairan tubuh cukup baik dan sudah terpenuhi. Sedangkan jika warna air seni berubah menjadi lebih gelap (kuning tua/oranye) dan jumlahnya sedikit, itu berarti kebutuhan cairan tubuh masih belum terpenuhi.
Sebenarnya apa yang terjadi pada tubuh kita ketika kita minum air putih berlebihan? Ada dua hal utama yang terjadi pada tubuh kita ketika kita terlalu banyak mengonsumsi air putih pada suatu waktu, yaitu:
Meningkatkan Total Volume Darah
Mengonsumsi banyak air putih lebih dari yang dibutuhkan akan meningkatkan total volume darah. Volume darah yang meningkat pada sistem pembuluh darah yang tertutup akan membuat kerja jantung dan pembuluh darah akan meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan pada sistem pembuluh darah yang tertutup itu.
Jumlah air yang terlalu banyak masuk ke dalam tubuh akan meningkatkan kerja ginjal dari yang seharusnya. Ginjal akan memfilter/menyaring setiap cairan yang masuk ke dalam tubuh, berbeda dengan pipa air dimana semakin banyak air yang mengalir maka pipa tersebut akan semakin bersih. Namun pada ginjal, hal tersebut tidak berlaku, malah beban ginjal akan semakin meningkat dengan banyaknya air yang harus disaring melalui glomerulus. Bahkan, glomerulus dapat rusak sebagai akibat dari menyaring banyaknya cairan yang tidak seharusnya diperlukan oleh tubuh, glomerulus bekerja ekstra keras karenanya. Sistem filtrasi di ginjal harus tetap mempertahankan jumlah air (di dalam tubuh) pada tingkat yang aman yang memang diperlukan oleh tubuh, kelebihan cairan sebagai akibat dari banyaknya konsumsi air harus dibuang dari tubuh.
Menyebabkan Hiponatraemia
Selain dua hal di atas, minum air putih berlebihan dapat menyebabkan munculnya keadaan fatal yang disebut hiponatraemia. Hiponatraemia adalah suatu keadaan dimana kadar garam di dalam darah (dalam hal ini Natrium) lebih rendah daripada yang seharusnya. Secara normal konsentrasi natrium di dalam darah berkisar antara 135 sampai dengan 145 milimol per liter, namun pada keadaan hiponatraemia konsentrasi garam kurang dari 135 milimol per liter. Keadaan yang parah dari kondisi hiponatraemia dapat menyebabkan intoksikasi air yang memiliki gejala antara lain sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sering urinasi (buang air kecil) serta disorientasi mental.
Keadaan hiponatraemia yang disebabkan oleh jumlah air yang meningkat di dalam pembuluh darah membuat ginjal tak mampu mengeluarkan kelebihan air tersebut secara cepat. Akibatnya, air yang berlebih itu akan masuk ke dalam sel-sel tubuh. Sel-sel tubuh yang menerima kelebihan air akan mengalami pembengkakan. Sel-sel tubuh yang membengkak tersebut tidak akan mengalami kesulitan untuk mengembang akibat air yang diterimanya, karena masih memiliki ruang di sekitar sel-sel tersebut. Namun, hal tersebut berbeda dengan sel otak. Sel-sel otak terkurung dalam tulang tengkorak yang keras dan tidak memiliki ruang yang cukup untuk mengembang ketika menerima kelebihan air. Jika kelebihan air tersebut sampai memasuki sel-sel otak dan sel otak mengalami pembengkakan, seperti sel-sel tubuh lainnya, maka yang terjadi selanjutnya dapat dipastikan adalah bencana. Tubuh akan mengalami kejang, koma, sistem pernapasan terhenti, batang otak mengalami herniasi dan akhirnya berujung pada kematian.
Lalu, anjuran untuk minum 8 gelas sehari apakah masih berlaku?,,. Sebenarnya cara yang lebih tepat adalah cobalah untuk menyeimbangkan antara kebutuhan dengan pengeluaran. Sebagai contoh, saat Anda berolahraga Anda mengeluarkan keringat sebanyak 500 mililiter per jam, maka air yang harus Anda minum adalah sebanyak 500 mililiter juga. Tetapi, bukankah sulit untuk mengukur berapa banyak keringat yang kita keluarkan per jam-nya? Jika begitu keadaannya, lalu indikatornya apa? Joseph Verbalis, direktur di Georgetown University Medical Center, punya saran yang tepat untuk Anda “drink to your thirst. It’s the best indicator“, yaitu minumlah untuk mengobati dahaga Anda, karena itu adalah indikator terbaik untuk mengetahui kapan kita harus minum air. Minumlah air putih saat haus dan minumlah secukupnya.